Friday, October 5, 2012

Mahamudra yang Mengenyahkan Khayalan


by LOTUS NINO on OCTOBER 5, 2012

Diambil dari buku Guru Sheng-yen Lu, No.51 “Mahamudra & Yoga Tantra Tertinggi”, Bab 21
Dibagikan oleh Lama Lotuschef – 5 Agustus 2011
Terjemahan asli oleh Cheng Yew Chung, disunting oleh Dance Smith
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia oleh Lotus Nino
Sumber: Mahamudra of Dispelling Delusion

BAB 21 – Mahamudra yang Mengenyahkan Khayalan

Praktisi Mahamudra harus tahu bahwa arti sebenarnya dari Mahamudra adalah Realitas Sejati.Ia yang mengerti Mahamudra adalah orang yang paling bijaksana, karena ia tak melekat ataupun terjatuh ke dalam khayalan.

Para praktisi tantra rentan memasuki empat jalan yang salah, dan oleh karenanya kita harus mengenali apa saja empat jalan ini dan selalu mengingatnya.

[Jalan salah yang pertama adalah obsesi akan ide mengenai Kekosongan]



Aku mengenal seorang bhiksu yang mempelajari Aliran Satyasiddhi (Bhs. Jepang: Jojitsu-shu) dan Aliran San-lun (Tiga Sutra). Kedua aliran ini juga dikenal sebagai Aliran Sunyata atau Kekosongan.
Ia merasa kalau semua hal tidak punya sifat mulanya yang sejati.
Si Bhiksu melatih meditasi dan berfokus pada pelatihan diri untuk menghancurkan segala kemelekatan pada diri. Ia sebenarnya sadar bahwa semua hukum sebab musabab yang saling bergantungan (pratityasamutpada) pada dasarnya memang kosong, dan bahwa ego diri dan semua kepemilikannya juga tidak ada.
Tujuan akhir dari pelatihan dirinya adalah Surga Ruang Kosong yang Tiada Berbatas, yang merupakan surga tingkat pertama dari Alam Tanpa Bentuk – salah satu dari Tiga Alam (Triloka) dan Sembilan Bhumi.
Si Bhiksu merasa dirinya telah mencapai pencerahan.
Jadi bhiksu yang melekat pada sifat sejati Kekosongan bisa berharap untuk mencapai Alam Tanpa Bentuk. Para praktisi dalam kategori ini sering merasa bahwa mereka tidak perlu lagi kembali ke alam manusia; mereka merasa seperti telah memasuki Kekosongan itu sendiri dan telah membebaskan diri mereka dari kelahiran dan kematian.
Mereka merasa telah mencapai Nirwana.
Namun, semua yang mereka alami muncul dari rasa mementingkan diri sendiri, berhubung orang yang yang menikmati sifat sejati Kekosongan ini tak bisa mengembangkan hati yang mau menolong para insan.
Jadi Kekosongan seperti ini tidak ada bedanya dengan kondisi kosong dari kekosongan yang menyerong.
Pandangan mereka telah menyerong karena tidak mengenali keberadaan sebab dan akibat, dan mereka melekat pada pandangan dan pemahaman akan kekosongan.
Tingkat spiritualitas seperti ini tidak bisa menandingi tingkatan bodhisattva yang lahir dari realitas sejati Mahamudra. Inilah yang merupakan jalan salah yang pertama.
Saat kamu bertanya pada bhiksu ini mengenai apa itu kebenaran, maka jawabannya adalah: Kebenaran adalah kekosongan.
Saat kamu menanyakan kepadanya mengenai menyeberangkan para insan, jawabannya adalah: Menyelamatkan para insan adalah kekosongan.
Lalu bagaimana dengan meditasi? Jawabannya: Meditasi adalah kekosongan.
Semua jawabannya untuk apapun yang kamu tanyakan, selalu ‘kekosongan’. Ia sepenuhnya melekat pada pandangannya akan kekosongan.
Orang yang melatih meditasi semacam ini akan mencapai Samadhi Kekosongan, yang tingkat spiritualitas tertingginya adalah Surga Tiada Pikiran Ataupun Bukan Tiada Pikiran.
Saat bersemayam di dalam meditasi seperti ini, tingkat tertinggi yang si praktisi bisa harapkan adalah empat dimensi keberadaan di dalam alam tanpa bentuk.

[Jalan salah yang ke-dua adalah melekat pada naskah kitab suci]



Aku pernah mengatakan bahwa memang ada banyak cendekiawan agung dan para venerable yang sangat fasih dalam pembelajarannya akan berbagai sutra dan naskah-naskah suci.
Saat mereka membahas berbagai prinsip yang ada di dalam sutra, mereka bisa menyampaikannya dengan jelas dan runtut.
Bila mereka ditanya, mereka akan mencari dukungan argumen mereka dengan mengutip sutra dan naskah-naskah suci.
Orang-orang Kristen sebegitunya terserap pada Injil; orang-orang Buddhis pada kanon Buddhis; orang-orang Taois pada kanon Taois.
Aku bukannya melarangmu untuk membaca sutra dan naskah-naskah suci, namun aku ingin kamu membacanya, mengaplikasikan mereka dengan kreatif, menyadari arti-artinya, dan menciptakan pikiran-pikiran yang baru.
Aku tidak mendorongmu untuk mengingat naskah-naskah tersebut. Aku juga tak menginginkanmu menjadi kutu buku dan akhirnya mengubur dirimu sendiri di balik naskah-naskah tersebut.
Ketahuilah bahwa kefasihan akan naskah-naskah suci tak ada gunanya, karenamenguasai semua sutra dan naskah suci tanpa praktek yang aktual dan menciptakan pemikiran-pemikiran baru melalui mereka sama saja dengan menjadi pengikut fanatik.
Para cendekiawan dan bhiksu seperti itu tak bisa melampai batasan-batasan yang ditentukan oleh sutra dan naskah suci, begitulah selanjutnya mereka juga tak mampu memanfaatkannya dengan baik.
Oleh karenanya, mereka menjadi terlalu terhubung dengan naskah-naskah suci.
Dan kondisi kemelekatan seperti ini merupakan Mara Firman (Sabda).
Ini tentu saja merupakan sebuah bentuk khayalan, perasaan kepuasan intelektual yang mengumpan para akademisi dengan ide bahwa dengan memahami arti yang tertulis di dalam naskah suci maka mereka telah merealisasikan kebenaran.
Lewat pendekatan seperti ini, mereka telah mengisolasi diri mereka sendiri dalam pikiran-pikiran mereka dan tak lagi mengejar kebenaran sejati di dalam Mahamudra.

Bila hanya bersenjatakan penguasaan intelektual akan naskah-naskah suci dan tidak mendapatkan kemajuan dalam tingkat spiritualitas – maka ini menggambarkan situasi yang terbingungkan oleh naskah suci dan terjatuh dalam khayalan di alam mara firman.
Maka saat kamu bertanya pada bhiksu-bhiksu yang masuk dalam kategori ini mengenai apa itu kebenaran, maka jawabannya kira-kira seperti: Naskah ini mengatakan…?
Bila ditanya mengenai penyelamatan para insan, maka jawabannya kira-kira: Baca saja sutra-sutra dan realisasikan arti-arti di dalamnya.
Jadi kamu melanjutkan dengan bertanya mengenai meditasi, dan jawabannya kira-kira: Meditasi itulah seperti yang tertulis di dalam naskah suci.
Semua yang diketahui dan dikatakan oleh para bhiksu tersebut dalam tiap ceramah dharma yang mereka berikan adalah kutipan dari sutra dan naskah suci, dan mereka menganggap kebenaran yang tertulis di dalam sutra dan naskah suci sebagai kebenaran yang sempurna.
Sebenarnya ini kesalahan yang fatal.
Mahamudra yang Mengenyahkan Khayalan harus diaktualisasikan dalam praktek.

Jangan pernah menganggap naskah-naskah suci sebagai kata kunci terakhir, karena mereka hanyalah merupakan suplemen tambahan dalam pelatihan dirimu.
Melainkan, kamu harus menganggap apa yang kamu temukan dalam praktek dan realisasi aktualmu sebagai yang utama, karena Mahamudra akan membawamu ke dalam perluasan ide dan pelatihan diri yang tiada batasnya.
Kalau kita mengharapkan kontak yoga, kita tidak boleh terlalu berkutat pada naskah suci.

[Jalan salah yang ke-tiga adalah kemelekatan pada praktek menenangkan pikiran]



Saat aku mulai mengajarkan praktek Mahamudra, aku mendorong orang-orang untuk menenangkan pikiran mereka yang berlarian kemana-mana.
Namun saat kamu sampai ke suatu titik di mana kamu tak lagi menemukan cara untuk menenangkan pikiranmu, maka kamu harus berhenti mencoba. Terkesan seperti paradoks, tapi sebenarnya bukan.
Hal tersebut benar-benar merupakan kemajuan dalam tiga tahap pelatihan diri:
  1. Menenangkan pikiran – Pertama kali kita belajar menghentikan pikiran yang bercabang.
  2. Membiarkan pikiran apa adanya – Biarkan pikiran-pikiran tersebut berlarian dengan liar.
  3. Mengamati pikiran – Seperti berdiri di samping sungai, kita menonton aliran pikiran seperti aliran air di dalam sungai, dan tidak terpengaruh oleh mereka.
Praktisi tantra harus melatih diri dengan tiga tahap seperti itu.
Saat kamu mencapai sebuah titik di mana kamu menyadari pikiranmu tidak bisa dihentikan, maka berhentilah mencoba dan biarkan pikiran mengalir secara alami.
Ini karena semakin kamu mencoba untuk menghentikan pikiran-pikiranmu, maka akan semakin banyak pikiran bercabang yang muncul.
Jadi jauh lebih baik melepaskan pikiran tersebut supaya berlarian dan kamu melihat prosesnya sebagai hal yang alamiah.
Dengan membiarkan pikiran mengalir dan mereda secara alami, maka sebenarnya mereka semakin berkurang/menghilang.
Kalau kita berfokus untuk menghentikan munculnya pikiran yang bercabang ini, hal ini bisa berubah menjadi semacam obsesi untuk menenangkan pikiran.
Hal ini tentunya punya efek buruk bila kita terlalu memaksa untuk menenangkan munculnya pikiran yang bercabang ini. Saat pikiran yang bercabang terus mengalir tiada henti, mereka bertambah banyak sejalan dengan aksimu untuk mencoba menghentikannya.
Proses ini akhirnya bisa membawamu pada sebuah situasi yang mirip dengan Sungai Kuning yang alirannya merebak keluar ke tepiannya, sama artinya dengan semua nafsu dan pikiran yang dalam semalam saja langsung membanjiri hati dan menghancurkan semua usaha pelatihan kita.
Jadi, praktisi Tantra yang melatih Mahamudra harus memahami ketiga tahap pelatihan di atas, di mana ia  pertama kali menenangkan pikirannya, dan bila pikirannya ternyata tak bisa dihentikan maka ia membiarkannya mengalir apa adanya.
Pada akhirnya, kita mengubah semua pikiran yang berlarian tersebut menjadi pikiran yang mengamati. Inilah cara yang benar untuk melatihnya.
Suatu kali seorang bhiksu memberitahuku bahwa saat ia melatih metode menenangkan pikiran, ia tak tahu mengenai metode mengalihkan.
Kapanpun sebuah pikiran yang bercabang muncul, ia akan menampar dirinya sekali.
Akhirnya mukanya menjadi lebam tapi hal tersebut hanya membantunya sedikit saja dalam menghentikan pikirannya.
Lalu, ia mengambil jarum dan menusuk dirinya sendiri saat ia perlu menghentikan pikiran-pikirannya.
Cara ini masih saja tak bisa menghentikan pikirannya.
Sampai akhirnya ia berpikir untuk memotong penisnya.
Kuberitahu dia, bahkan bila ia memotong penisnya pun masih tak akan membantunya mengurangi pikiran-pikirannya yang bercabang.
Apakah kamu pernah benar-benar berpikir kalau dengan menjadi seorang kasim (yang dikebiri) maka kamu tak akan memikirkan hal-hal seksual?
Justru kasim malah lebih banyak memikirkan hal-hal seksual ketimbang orang lain; kita menamakannya sebagai ‘kegatalan yang tidak pada tempatnya’.
Satu-satunya cara untuk menangani pikiran yang bercabang tanpa menyerangnya adalah dengan pertama kali menenangkan pikiran.
Saat cara ini tidak berhasil, gantilah pendekatannya dengan membiarkan mereka berlarian dengan bebas.
Setelah beberapa saat, ganti lagi pendekatannya dengan mempelajari rupang buddha untuk menghayati kesuciannya, dan alihkan pikiranmu dengan cara yang alami.
Dengan menggunakan pendekatan seperti ini maka kamu tak akan menjadi melekat.
Sungguh sebuah jalan yang salah bagi seorang praktisi tantra yang malah menjadi terobsesidengan tindakan menenangkan pikiran.

[Jalan salah yang ke-empat adalah obsesi akan berbagai macam praktek (sadhana)]



Di dalam Tantrayana ada begitu banyak sadhana.
Seorang praktisi bisa saja menyukai salah satu sadhana dibanding sadhana yang lain dan kemudian menjadi plin-plan, berganti ke sadhana lain pada waktu yang berlainan lagi.
Bahkan pilihan yidam utamanya terus berganti-ganti, sampai pada akhirnya orang yang bersangkutan tidak bisa menentukan yidam utama mana yang akan diikutinya.
Hari ini, aku, Vajra Guru Bermahkota Merah nan Suci, telah mentransmisikan banyak sadhana tantra, dan masih ada ribuan lainnya lagi yang belum ditransmisikan.
Kalau saja aku memutuskan untuk mentransmisikan semuanya dan membiarkan para pembaca mempelajari semuanya, seratus kehidupanpun tak akan cukup untuk melatih semua sadhana tersebut.
Pada saat yang bersamaan, si praktisi tak akan mendapatkan kontak batin apapun.
Si praktisi hanya perlu memilih satu sadhana yang cocok dengan sifat dirinya dan kemudian melatihnya.
Saat si praktisi mendapatkan kontak yoga, pasti lumrah kalau dia akan mendapatkan kontak yoga dengan sadhana-sadhana lainnya.

Ini adalah sebuah kunci yang penting.
Ia yang mengamalkan Mahamudra berarti sudah lama menyadari kebenaran ini.
Semua tindakannya adalah Mahamudra, dan sepenuhnya terserap di dalam kondisiMahamudra Spontan atau Inti (Sahaja Mahamudra).
Inilah yang dinamakan sebagai pembebasan.
Pembebasan semacam inilah yang dinamakan sebagai dharma sebenarnya bukan dharma.
Semua sadhana tersebut bisa disingkirkan, karena setiap tindakannya dalam kehidupan adalah bentuk dari semua dharma itu sendiri.
Si praktisi selalu tinggal di dalam kondisi pembebasan, dan ekspresinya akan semua semua dharma dilakukan demi para insan.
Inilah sikap yang paling penting yang dipunyai oleh orang yang telah mencapai realisasi.
Oleh karenanya, mengenakan pakaian adalah Mahamudra.
Membuang air besar maupun kecil di dalam toilet adalah Mahamudra.
Mencuci tangan adalah Mahamudra.
Jadi, obsesi akan beragam sadhana itu sendiri adalah khayalan.
Aku hanya ingin mengingatkanmu supaya tidak terobsesi dengan berbagai macam sadhana.
Ingatlah baik-baik! Ingatlah baik-baik!
Amituofo
Lotuschef
Pure Karma
True Buddha School

No comments:

Post a Comment