16-1-2012 Bardo
16-1-2012 Bardo (Introduksi)
Translated by Lotus Nino
Sumber:
Kata Bardo dalam Bahasa Tibet sebenarnya berarti “kondisi peralihan” –
juga diterjemahkan sebagai “kondisi transisi” atau “kondisi di antara” atau
“kondisi liminal”.
Dalam Bahasa Sansekerta, konsep ini
dinamakan antarabhāva, yang muncul segera setelah Buddha meninggal dunia.
Mengenai konsep ini, ada beberapa kelompok Buddhis pada masa awal yang menerima
keberadaannya, namun ada beberapa kelompok yang menolaknya juga.
Bila diterjemahkan secara umum, kata “bardo” mengacu pada kondisi
peralihan diri di antara dua kehidupan di bumi.
Menurut tradisi Tibet, orang akan
mengalami berbagai macam fenomena, setelah kematian dan sebelum kelahiran
selanjutnya, saat kesadarannya telah terlepas dari tubuh fisiknya.
Biasanya fenomena ini mengikuti alur
degenerasi (kemerosotan) tertentu, dimulai dari segera setelah kematian,
pengalaman nyata akan hal-hal spiritual yang mampu dilakukan akan berada pada
titik yang paling jelas, lalu akan bersambung dengan berbagai halusinasi
mengerikan yang muncul dari dorongan hati yang kurang baik sebelumnya.
Bagi mereka yang telah siap dan
melatih diri dengan baik, bardo akan menjadi sebuah kondisi yang penuh dengan
kesempatan untuk mencapai pembebasan, berhubung pencerahan transendental bisa
muncul dengan pengalaman langsung yang nyata. Namun bagi orang lainnya, kondisi
ini malah bisa menjadi suatu tempat yang sangat berbahaya karena halusinasi
yang diciptakan oleh pengaruh karma bisa mendorong mereka ke dalam kelahiran
baru yang kurang diinginkan.
Istilah bardo juga dapat digunakan secara metaforik
(perumpamaan) untuk menggambarkan waktu di mana kehidupan sehari-hari kita
menjadi terhenti, seperti dalam masa sakit atau dalam retret meditasi.
Waktu-waktu seperti itu bisa menjadi
sangat berguna bagi kemajuan spiritual karena berbagai kendala eksternal akan
berkurang. Namun, mereka juga bisa menjadi krisis karena dorongan hati kita
yang kurang baik bisa muncul keluar, seperti pada bardo sidpa.
Kondisi Peralihan dalam
Buddhisme India
Dari catatan ordo-ordo Buddhis masa
lampau terlihat setidaknya ada enam kelompok yang mempercayai adanya sebuah
kondisi peralihan (antarābhava), yaitu Sarvāstivāda, Darṣṭāntika, Vātsīputrīyas,
Saṃmitīya, Pūrvaśaila dan
Mahīśāsaka. Empat kelompok pertama adalah ordo yang saling berhubungan erat.
Sedangkan kelompok yang menentang adalah Mahāsaṃghika, Mahīśāsaka, Theravāda, Vibhajyavāda dan Śāriputra
Abhidharma (kemungkinan adalah Dharmagupta) (Bareau 1955: 291).
Beberapa referensi paling awal yang
kami dapatkan mengenai “kondisi peralihan” bisa ditemukan di dalam Mahāvibhāṣa dari naskah
Sarvāstivādin. Sebagai contoh, Mahāvibhāṣa menunjukkan adanya “kondisi dasar”, “kondisi peralihan”,
“kondisi kelahiran”, dan “kondisi kematian” (CBETA, T27, no. 1545, hal. 959,
etc.). Bareau (1955: 143) memberikan argumen Sarvāstivāda sebagai berikut:
Insan
dalam kondisi peralihan yang bermigrasi melalui jalan ini menuju ke kehidupan
selanjutnya akan terbentuk, seperti halnya pada setiap mahluk hidup, dari 5
agregat (skandha). Keberadaannya ditunjukkan lewat fakta bahwa ia tidak bisa
memutuskan lingkaran waktu & ruang antara tempat & waktu [kematian] dan
[kelahirannya kembali], dan oleh karenanya ‘kondisi peralihan’ menghubungkan
kedua kondisi keberadaan tersebut yang berada dalam seri yang sama.
Insan
dalam tubuh peralihan disebut sebagai Gandharva, keberadaannya dalam bentuk
seperti ini untuk melambangkan konsep produktif dan penyatuan kedua orang tua.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa Antarāparinirvāyin adalah seorang Anāgamin yang
mencapai parinirvāṇa
saat berada dalam kondisi peralihan ini. Sedangkan seorang kriminal yang keji
dan melakukan salah satu dari lima pelanggaran berat tanpa henti (ānantarya),
juga akan bermigrasi dengan cara yang hampir sama, melewati kondisi peralihan
seperti ini, dan pada akhirnya akan terlahir kembali di neraka.
Abhidharmakośa dari Vasubandhu, yang
berasal dari ordo yang sama tapi pada periode akhir, menjelaskan dengan
beberapa perbedaan (Terj. Bhs. Inggris hal. 383ff):
Apakah
itu insan dalam kondisi peralihan, dan apakah itu kondisi peralihan? 10.
Kondisi peralihan, yang menyisipkan dirinya di antara kondisi kematian dan
kelahiran, yang belum sampai pada lokasi tujuan di mana seharusnya ia berada,
belum dapat dikatakan sebagai terlahir.
Antara
kematian, dengan lima skandha pada saat kematian; dan kemunculan, dengan lima
skandha pada saat kelahiran kembali – ternyata di sana ditemukan adanya sebuah
“tubuh” yang punya lima skandha yang sedang menuju ke lokasi kelahiran kembali.
Kondisi di antara dua alam kelahiran kembali (gatī) inilah yang dinamakan
sebagai kondisi peralihan.
Vasubandhu mengutip beberapa naskah
dan contoh untuk mempertahankan gagasannya terhadap ordo-ordo lain yang
menolaknya dan mengklaim bahwa kematian seorang insan akan langsung diikuti
oleh kelahiran selanjutnya, tanpa adanya kondisi peralihan di antara dua
kondisi tersebut (kematian dan kelahiran
selanjutnya).
Baik Mahāvibhāṣa maupun Abhidharmakośa punya gagasan bahwa kondisi peralihan
ini berlangsung maksimal selama “tujuh kali tujuh hari” (yaitu 49 hari).
Ini hanyalah salah satu sudut
pandang saja. Sebenarnya masih ada pandangan-pandangan lainnya.
Argumen yang hampir sama juga
digunakan di dalam *Satyasiddhi Śāstra karya Harivarman – sebuah naskah kuasi-
Mahāyāna, dan penjelasan Upadeśa mengenai Prajñāpāramitā Sūtra, di mana
keduanya mendapat pengaruh kuat dari ordo Sarvāstivāda. Kedua naskah tersebut
punya pengaruh yang kuat pada Buddhisme Tiongkok, yang juga menerima ide ini
sebagai panduannya.
Saddharma-smṛty-upasthāna Sūtra
mengklasifikasikan 17 kondisi peralihan dengan berbagai pengalaman yang
berbeda.
Enam Bardo di dalam
Buddhisme Tibet
Fremantle (2001) menjelaskan bahwa
ada enam kondisi bardo tradisional yang dikenal sebagai Enam Bardo: Bardo dalam
Kehidupan Sekarang (hal. 55), Bardo Meditasi (hal. 58), Bardo Mimpi (hal. 62),
Bardo Menjelang Ajal (hal. 64), Bardo Dharmata (hal. 65), dan Bardo Keberadaan
(hal. 66).
Shugchang, dkk. (2000: hal. 5)
membahas ajaran-ajaran Zhitro (Bahasa Tibet: Zhi-khro) yang merupakan bagian
dari Bardo Thodol dan turut
menyinggung topik Karma Lingpa, terma dan Padmasambhava dan Enam Bardo: “Bardo
yang pertama dimulai saat kita mengambil sebuah bentuk kehidupan dan
berlangsung selama kita menjalani kehidupan tersebut. Bardo kedua adalah bardo
mimpi. Yang ketiga adalah bardo konsentrasi atau meditasi. Yang keempat terjadi
pada saat meninggal dunia. Yang kelima disebut juga sebagai bardo kilauan
cahaya jati diri. Yang keenam dinamakan sebagai bardo transmigrasi atau
transformasi karma.
1. Bardo Shinay (Bhs. Tibet): adalah bardo pertama dari kelahiran dan
kehidupan. Bardo ini dimulai dari masa kehamilan hingga hembusan nafas yang
terakhir, di saat aliran pikiran keluar dari tubuh.
2. Bardo Milam (Bhs. Tibet): adalah bardo kedua dari kondisi mimpi.
Bardo Milam merupakan bagian dari Bardo pertama. Yoga Mimpi menjadi latihan
untuk mengintegrasikan kondisi mimpi ke dalam sadhana Buddhis.
3. Bardo Samten (Bhs. Tibet): adalah bardo ketiga dari meditasi. Bardo
ini secara umum hanya dialami oleh para meditator, meski para individu mungkin
pernah mengalaminya secara spontan. Bardo Samten juga merupakan bagian dari
Bardo Shinay.
4. Bardo Chikkai (Bhs. Tibet): adalah bardo keempat pada saat
kematian. Menurut tradisi, bardo ini dimulai pada saat gelagat (tanda)
eksternal dan internal yang menandai datangnya kematian mulai muncul, dan
berlangsung sepanjang pemisahan atau transformasi Mahabhuta hingga nafas
eksternal dan internal telah berakhir.
5. Bardo Chönyid (Bhs. Tibet): adalah bardo kelima dari kilauan cahaya
jati diri yang dimulai setelah ‘nafas dalam’ (Bahasa Sansekerta: prana, vayu;
Bahasa Tibet: rlung) terakhir. Di dalam Bardo inilah akan muncul berbagai
fenomena penglihatan dan pendengaran. Dalam ajaran-ajaran Dzogchen, hal ini
dikenal sebagai penglihatan Thödgal (Bhs. Tibet: thod-rgyal) yang
bermanifestasi dengan spontan. Seiring dengan penglihatan-penglihatan tersebut,
ternyata ada aliran kedamaian yang mendalam dan kesadaran yang murni. Para
insan berperasaan yang tidak pernah melatih diri (bersadhana) sewaktu hidupnya
dan/atau tidak mengenali sinar terang (Bhs. Tibet: od gsal) pada saat kematian
biasanya akan tertipu atau terperdaya di sepanjang Bardo kilauan cahaya ini.
6. Bardo Sidpa (Bhs. Tibet): adalah bardo keenam dari transformasi
atau transmigrasi. Bardo ini berlangsung hingga nafas dalam dimulai dalam
bentuk transmigrasi baru yang ditentukan oleh ‘benih-benih karma’ di dalam
gudang kesadaran (Bhs. Sansekerta: alayavijñana).
Penafsiran
Fremantle (2001: hal. 53-54) membuat
struktur perkembangan konsep bardo dengan berbasiskan tradisi Himalaya:
Pada
awalnya, bardo hanya mengacu pada masa di antara satu kehidupan dan kehidupan
selanjutnya, dan ini merupakan arti umum saat disebut tanpa atribut apapun.
Lalu ada perselisihan yang cukup besar mengenai teori ini pada masa-masa awal
agama Buddha, dengan satu pihak membantah bahwa kelahiran kembali (atau awal
kehidupan) segera mengikuti setelah kematian, dan pihak yang lain mengatakan
bahwa di sana pasti ada interval antara kematian dan kelahiran kembali.
Dengan
mulai populernya Mahayana, kepercayaan akan periode transisi ini mengalahkan
pernyataan pihak pertama tadi. Kemudian agama Buddha memperluas seluruh konsep
bardo tersebut untuk membedakan enam atau lebih untuk kondisi-kondisi tersebut
– mereka mencakup seluruh siklus kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali.
Namun bardo juga dapat diinterpreasikan sebagai berbagai pengalaman transisi,
kondisi apapun yang berada di antara dua kondisi lainnya.
Arti
aslinya sebagai: pengalaman di antara kondisi kematian dan kelahiran kembali –
adalah prototipe dari pengalaman bardo, sedangkan enam bardo tradisional
menunjukkan bagaimana kualitas-kualitas penting dari pengalaman tersebut juga
turut hadir di dalam periode-periode transisi lainnya.
Dengan
memperdalam pemahaman akan inti dari bardo, pengetahuan ini dapat diterapkan ke
dalam setiap momen kehidupan. Kehidupan saat ini, sekarang, adalah bardo yang
sedang berlangsung (terus-menerus), yang selalu terhenti di antara masa lampau
dan masa yang akan datang.
Namun, seperti yang tertulis di
atas, ide Fremantle yang pada awalnya hanya mengenai “antara satu kehidupan dan
kehidupan selanjutnya” tidak digunakan
oleh mereka dari ordo Sarvāstivāda dari sejak awal. Lalu, yang dikatakan
mengenai ‘pengaruh kuat dari ide ini dikarenakan oleh Mahāyāna’ juga tidak
terbukti, malah kelihatannya dikarenakan oleh pegaruh Sarvāstivāda beberapa
abad sebelum Mahāyāna memberikan pengaruh yang nyata.
Amituofo /
Lotuschef / Pure Karma / True Buddha School
No comments:
Post a Comment