Tuesday, January 17, 2012

17-1-2012 [16-1-2012 Bardo (Introduksi)]


16-1-2012 Bardo
16-1-2012 Bardo (Introduksi)
Translated by Lotus Nino
Sumber:


Kata Bardo dalam Bahasa Tibet sebenarnya berarti “kondisi peralihan” – juga diterjemahkan sebagai “kondisi transisi” atau “kondisi di antara” atau “kondisi liminal”.

Dalam Bahasa Sansekerta, konsep ini dinamakan antarabhāva, yang muncul segera setelah Buddha meninggal dunia. Mengenai konsep ini, ada beberapa kelompok Buddhis pada masa awal yang menerima keberadaannya, namun ada beberapa kelompok yang menolaknya juga.

Bila diterjemahkan secara umum, kata “bardo” mengacu pada kondisi peralihan diri di antara dua kehidupan di bumi.

Menurut tradisi Tibet, orang akan mengalami berbagai macam fenomena, setelah kematian dan sebelum kelahiran selanjutnya, saat kesadarannya telah terlepas dari tubuh fisiknya.

Biasanya fenomena ini mengikuti alur degenerasi (kemerosotan) tertentu, dimulai dari segera setelah kematian, pengalaman nyata akan hal-hal spiritual yang mampu dilakukan akan berada pada titik yang paling jelas, lalu akan bersambung dengan berbagai halusinasi mengerikan yang muncul dari dorongan hati yang kurang baik sebelumnya.

Bagi mereka yang telah siap dan melatih diri dengan baik, bardo akan menjadi sebuah kondisi yang penuh dengan kesempatan untuk mencapai pembebasan, berhubung pencerahan transendental bisa muncul dengan pengalaman langsung yang nyata. Namun bagi orang lainnya, kondisi ini malah bisa menjadi suatu tempat yang sangat berbahaya karena halusinasi yang diciptakan oleh pengaruh karma bisa mendorong mereka ke dalam kelahiran baru yang kurang diinginkan.

Istilah bardo juga dapat digunakan secara metaforik (perumpamaan) untuk menggambarkan waktu di mana kehidupan sehari-hari kita menjadi terhenti, seperti dalam masa sakit atau dalam retret meditasi.

Waktu-waktu seperti itu bisa menjadi sangat berguna bagi kemajuan spiritual karena berbagai kendala eksternal akan berkurang. Namun, mereka juga bisa menjadi krisis karena dorongan hati kita yang kurang baik bisa muncul keluar, seperti pada bardo sidpa.


Kondisi Peralihan dalam Buddhisme India

Dari catatan ordo-ordo Buddhis masa lampau terlihat setidaknya ada enam kelompok yang mempercayai adanya sebuah kondisi peralihan (antarābhava), yaitu Sarvāstivāda, Darṣṭāntika, Vātsīputrīyas, Samitīya, Pūrvaśaila dan Mahīśāsaka. Empat kelompok pertama adalah ordo yang saling berhubungan erat. Sedangkan kelompok yang menentang adalah Mahāsaghika, Mahīśāsaka, Theravāda, Vibhajyavāda dan Śāriputra Abhidharma (kemungkinan adalah Dharmagupta) (Bareau 1955: 291).

Beberapa referensi paling awal yang kami dapatkan mengenai “kondisi peralihan” bisa ditemukan di dalam Mahāvibhāa dari naskah Sarvāstivādin. Sebagai contoh, Mahāvibhāa menunjukkan adanya “kondisi dasar”, “kondisi peralihan”, “kondisi kelahiran”, dan “kondisi kematian” (CBETA, T27, no. 1545, hal. 959, etc.). Bareau (1955: 143) memberikan argumen Sarvāstivāda sebagai berikut:

Insan dalam kondisi peralihan yang bermigrasi melalui jalan ini menuju ke kehidupan selanjutnya akan terbentuk, seperti halnya pada setiap mahluk hidup, dari 5 agregat (skandha). Keberadaannya ditunjukkan lewat fakta bahwa ia tidak bisa memutuskan lingkaran waktu & ruang antara tempat & waktu [kematian] dan [kelahirannya kembali], dan oleh karenanya ‘kondisi peralihan’ menghubungkan kedua kondisi keberadaan tersebut yang berada dalam seri yang sama.

Insan dalam tubuh peralihan disebut sebagai Gandharva, keberadaannya dalam bentuk seperti ini untuk melambangkan konsep produktif dan penyatuan kedua orang tua. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Antarāparinirvāyin adalah seorang Anāgamin yang mencapai parinirvāa saat berada dalam kondisi peralihan ini. Sedangkan seorang kriminal yang keji dan melakukan salah satu dari lima pelanggaran berat tanpa henti (ānantarya), juga akan bermigrasi dengan cara yang hampir sama, melewati kondisi peralihan seperti ini, dan pada akhirnya akan terlahir kembali di neraka.

Abhidharmakośa dari Vasubandhu, yang berasal dari ordo yang sama tapi pada periode akhir, menjelaskan dengan beberapa perbedaan (Terj. Bhs. Inggris hal. 383ff):

Apakah itu insan dalam kondisi peralihan, dan apakah itu kondisi peralihan? 10. Kondisi peralihan, yang menyisipkan dirinya di antara kondisi kematian dan kelahiran, yang belum sampai pada lokasi tujuan di mana seharusnya ia berada, belum dapat dikatakan sebagai terlahir.

Antara kematian, dengan lima skandha pada saat kematian; dan kemunculan, dengan lima skandha pada saat kelahiran kembali – ternyata di sana ditemukan adanya sebuah “tubuh” yang punya lima skandha yang sedang menuju ke lokasi kelahiran kembali. Kondisi di antara dua alam kelahiran kembali (gatī) inilah yang dinamakan sebagai kondisi peralihan.

Vasubandhu mengutip beberapa naskah dan contoh untuk mempertahankan gagasannya terhadap ordo-ordo lain yang menolaknya dan mengklaim bahwa kematian seorang insan akan langsung diikuti oleh kelahiran selanjutnya, tanpa adanya kondisi peralihan di antara dua kondisi tersebut  (kematian dan kelahiran selanjutnya).

Baik Mahāvibhāa maupun Abhidharmakośa punya gagasan bahwa kondisi peralihan ini berlangsung maksimal selama “tujuh kali tujuh hari” (yaitu 49 hari).

Ini hanyalah salah satu sudut pandang saja. Sebenarnya masih ada pandangan-pandangan lainnya.

Argumen yang hampir sama juga digunakan di dalam *Satyasiddhi Śāstra karya Harivarman – sebuah naskah kuasi- Mahāyāna, dan penjelasan Upadeśa mengenai Prajñāpāramitā Sūtra, di mana keduanya mendapat pengaruh kuat dari ordo Sarvāstivāda. Kedua naskah tersebut punya pengaruh yang kuat pada Buddhisme Tiongkok, yang juga menerima ide ini sebagai panduannya.

Saddharma-smty-upasthāna Sūtra mengklasifikasikan 17 kondisi peralihan dengan berbagai pengalaman yang berbeda.


Enam Bardo di dalam Buddhisme Tibet

Fremantle (2001) menjelaskan bahwa ada enam kondisi bardo tradisional yang dikenal sebagai Enam Bardo: Bardo dalam Kehidupan Sekarang (hal. 55), Bardo Meditasi (hal. 58), Bardo Mimpi (hal. 62), Bardo Menjelang Ajal (hal. 64), Bardo Dharmata (hal. 65), dan Bardo Keberadaan (hal. 66).

Shugchang, dkk. (2000: hal. 5) membahas ajaran-ajaran Zhitro (Bahasa Tibet: Zhi-khro) yang merupakan bagian dari Bardo Thodol dan turut menyinggung topik Karma Lingpa, terma dan Padmasambhava dan Enam Bardo: “Bardo yang pertama dimulai saat kita mengambil sebuah bentuk kehidupan dan berlangsung selama kita menjalani kehidupan tersebut. Bardo kedua adalah bardo mimpi. Yang ketiga adalah bardo konsentrasi atau meditasi. Yang keempat terjadi pada saat meninggal dunia. Yang kelima disebut juga sebagai bardo kilauan cahaya jati diri. Yang keenam dinamakan sebagai bardo transmigrasi atau transformasi karma.

1. Bardo Shinay (Bhs. Tibet): adalah bardo pertama dari kelahiran dan kehidupan. Bardo ini dimulai dari masa kehamilan hingga hembusan nafas yang terakhir, di saat aliran pikiran keluar dari tubuh.

2. Bardo Milam (Bhs. Tibet): adalah bardo kedua dari kondisi mimpi. Bardo Milam merupakan bagian dari Bardo pertama. Yoga Mimpi menjadi latihan untuk mengintegrasikan kondisi mimpi ke dalam sadhana Buddhis.

3. Bardo Samten (Bhs. Tibet): adalah bardo ketiga dari meditasi. Bardo ini secara umum hanya dialami oleh para meditator, meski para individu mungkin pernah mengalaminya secara spontan. Bardo Samten juga merupakan bagian dari Bardo Shinay.

4. Bardo Chikkai (Bhs. Tibet): adalah bardo keempat pada saat kematian. Menurut tradisi, bardo ini dimulai pada saat gelagat (tanda) eksternal dan internal yang menandai datangnya kematian mulai muncul, dan berlangsung sepanjang pemisahan atau transformasi Mahabhuta hingga nafas eksternal dan internal telah berakhir.

5. Bardo Chönyid (Bhs. Tibet): adalah bardo kelima dari kilauan cahaya jati diri yang dimulai setelah ‘nafas dalam’ (Bahasa Sansekerta: prana, vayu; Bahasa Tibet: rlung) terakhir. Di dalam Bardo inilah akan muncul berbagai fenomena penglihatan dan pendengaran. Dalam ajaran-ajaran Dzogchen, hal ini dikenal sebagai penglihatan Thödgal (Bhs. Tibet: thod-rgyal) yang bermanifestasi dengan spontan. Seiring dengan penglihatan-penglihatan tersebut, ternyata ada aliran kedamaian yang mendalam dan kesadaran yang murni. Para insan berperasaan yang tidak pernah melatih diri (bersadhana) sewaktu hidupnya dan/atau tidak mengenali sinar terang (Bhs. Tibet: od gsal) pada saat kematian biasanya akan tertipu atau terperdaya di sepanjang Bardo kilauan cahaya ini.

6. Bardo Sidpa (Bhs. Tibet): adalah bardo keenam dari transformasi atau transmigrasi. Bardo ini berlangsung hingga nafas dalam dimulai dalam bentuk transmigrasi baru yang ditentukan oleh ‘benih-benih karma’ di dalam gudang kesadaran (Bhs. Sansekerta: alayavijñana).


Penafsiran

Fremantle (2001: hal. 53-54) membuat struktur perkembangan konsep bardo dengan berbasiskan tradisi Himalaya:

Pada awalnya, bardo hanya mengacu pada masa di antara satu kehidupan dan kehidupan selanjutnya, dan ini merupakan arti umum saat disebut tanpa atribut apapun. Lalu ada perselisihan yang cukup besar mengenai teori ini pada masa-masa awal agama Buddha, dengan satu pihak membantah bahwa kelahiran kembali (atau awal kehidupan) segera mengikuti setelah kematian, dan pihak yang lain mengatakan bahwa di sana pasti ada interval antara kematian dan kelahiran kembali.

Dengan mulai populernya Mahayana, kepercayaan akan periode transisi ini mengalahkan pernyataan pihak pertama tadi. Kemudian agama Buddha memperluas seluruh konsep bardo tersebut untuk membedakan enam atau lebih untuk kondisi-kondisi tersebut – mereka mencakup seluruh siklus kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali. Namun bardo juga dapat diinterpreasikan sebagai berbagai pengalaman transisi, kondisi apapun yang berada di antara dua kondisi lainnya.

Arti aslinya sebagai: pengalaman di antara kondisi kematian dan kelahiran kembali – adalah prototipe dari pengalaman bardo, sedangkan enam bardo tradisional menunjukkan bagaimana kualitas-kualitas penting dari pengalaman tersebut juga turut hadir di dalam periode-periode transisi lainnya.

Dengan memperdalam pemahaman akan inti dari bardo, pengetahuan ini dapat diterapkan ke dalam setiap momen kehidupan. Kehidupan saat ini, sekarang, adalah bardo yang sedang berlangsung (terus-menerus), yang selalu terhenti di antara masa lampau dan masa yang akan datang.

Namun, seperti yang tertulis di atas, ide Fremantle yang pada awalnya hanya mengenai “antara satu kehidupan dan kehidupan selanjutnya” tidak  digunakan oleh mereka dari ordo Sarvāstivāda dari sejak awal. Lalu, yang dikatakan mengenai ‘pengaruh kuat dari ide ini dikarenakan oleh Mahāyāna’ juga tidak terbukti, malah kelihatannya dikarenakan oleh pegaruh Sarvāstivāda beberapa abad sebelum Mahāyāna memberikan pengaruh yang nyata.





Amituofo / Lotuschef / Pure Karma / True Buddha School

No comments:

Post a Comment