Wednesday, February 22, 2012

Enam Paramita [21-2-2012]

Diterjemahkan oleh Lotus Nino
Sumber: http://lotuschef.blogspot.com/2012/02/21-2-2012-6-paramitas.html
Pranala sumber: Pāramitā (Wikipedia)

 

- - - - - - - - - -

 

Pāramitā (Bhs. Pāli; Bhs. Sansekerta; alfasilabis aksara Devanagari: पारमिता) atau pāramī (Bhs. Pāli) adalah “kemuliaan” atau “kesempurnaan.”

Dalam agama Buddha, pāramitā mengacu pada kemuliaan atau titik tertinggi dari kebajikan (kearifan) tertentu. Kebajikan-kebajikan tersebut dilatih sebagai cara untuk menyucikan diri, membersihkan karma dan membantu si praktisi untuk dapat menjalani hidup tanpa halangan, sambil berusaha untuk mencapai pencerahan.

 

Asal-usul kata (Etimologi)


Cendekiawan Donald Lopez menggambarkan etimologi istilah ini sebagai berikut:

Istilah pāramitā, yang secara umum diterjemahkan sebagai “kemuliaan,” mempunyai dua macam etimologi. Yang pertama berasal dari kata parama yang artinya “tertinggi”, “terjauh,” dan juga berarti “utama,” “pokok,” “paling mulia.” Oleh karenanya substantif tersebut diterjemahkan sebagai “kemuliaan” atau “kesempurnaan.” Tulisan ini didukung oleh Madhyāntavibhāga (V.4), di mana dua belas kemuliaan (parama) punya hubungan dengan sepuluh kesempurnaan (pāramitā). Etimologi yang lebih kreatif dan sering digunakan membagi pāramitā menjadi pāra dan mita, di mana pāra berarti “melampaui,” “tepian, pantai atau batas yang lebih jauh lagi,” dan mita yang berarti “yang telah sampai”, atau ita yang artinya “telah pergi.” Jadi pāramitā berarti “yang telah melampaui batas,” “yang melampaui batas,” atau “transenden.” Tulisan ini tercermin dalam terjemahan Bahasa Tibet yang berbunyi pha rol tu phyin pa (“telah pergi menuju sisi seberang”).


 

Buddhisme Theravāda


Ajaran-ajaran Buddhisme Theravāda mengenai pāramitā dapat ditemukan di dalam buku-buku kanonik akhir dan komentar-komentar paska kanonik.

Sumber-sumber Kanonik


Di dalam kanon Buddhavaṃsa yang berbahasa Pāli, sepuluh kemuliaan (dasa pāramiyo) adalah

  1. Dāna pāramī: kemurahan hati, berkorban diri

  2. Sīla pāramī: kebajikan, moralitas, perbuatan benar

  3. Nekkhamma pāramī: renunsiasi (menyangkal tujuan-tujuan duniawi untuk dapat hidup bagi karya rohani)

  4. Paññā pāramī: kebijaksanaan transendental, wawasan/pencerahan

  5. Viriya (juga dieja sebagai vīriya) pāramī: energi, ketekunan, semangat, usaha

  6. Khanti pāramī: kesabaran, toleransi, kemampuan menahan diri, kemampuan untuk menerima, ketabahan

  7. Sacca pāramī: kejujuran

  8. Adhiṭṭhāna (adhitthana) pāramī: kebulatan tekad, resolusi

  9. Mettā pāramī: cinta kasih

  10. Upekkhā (juga dieja sebagai upekhā) pāramī: ketenangan, kedamaian


Dua dari sepuluh kebajikan di atas, metta dan upekkha juga merupakan dua dari empat apramana (batin yang tiada batas / brahmavihāra).

Historisitas


Ajaran-ajaran Theravāda mengenai pāramitā dapat ditemukan dalam buku-buku kanonik (seperti Jātaka, Apadāna, Buddhavasa,Cariyāpiaka) dan komentar-komentar paska kanonik yang ditulis untuk melengkapi kanon berbahasa Pāli di kemudian hari, jadi mereka bukanlah bagian asli dari ajaran Theravāda. Bagian-bagian tertua dari Sutta Piṭaka (sebagai Majjhima Nikāya, Digha Nikāya, Sayutta Nikāya dan Aguttara Nikāya) tidak pernah menyebutkan pāramitā sebagai sebuah kategori tersendiri (meski semua pāramitā tersebut disinggung secara khusus). Beberapa cendekiawan bahkan menganggap ajaran-ajaran pāramitā sebagai ajaran semi-Mahāyāna yang ditambahkan ke dalam naskah kitab suci di masa setelah itu, untuk menarik minat dan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat awam serta mempopulerkan agama mereka. Namun, pandangan-pandangan ini bersandar pada praduga ilmiah awal mengenai ajaran Mahāyāna yang bermula dari pengabdian religius dan daya tariknya terhadap umat awam. Baru-baru ini, para cendekiawan mulai membuka kembali berbagai literatur Mahāyāna pada masa-masa awal yang terlihat sangat asketik (seperti pertapa) dan menjelaskan mengenai ideologi kehidupan bhiksu di dalam hutan. Oleh karenanya, praktek pāramitā lebih mirip dengan idelogi tradisi pertapa śramaṇa di dalam Buddhisme.

Praktek tradisional


Bodhi (2005) mempertahankan pendapatnya bahwa, dalam naskah-naskah Buddhis pada masa awal (yang diidentifikasinya sebagai empat nikāya yang pertama), mereka yang mencari cara untuk menghilangkan penderitaan (nibbana) menekuni jalan mulia berunsur delapan. Sejalan dengan bergulirnya waktu, sebuah kisah latar belakang disediakan untuk berbagai macam perkembangan kehidupan Sang Buddha; dan sebagai hasilnya, sepuluh kemuliaan dikenali sebagai bagian dari jalan yang ditempuh oleh bodhisattva (Bhs. Pāli: bodhisatta). Berabad-abad kemudian, pāramī dilihat sebagai hal penting bagi mereka yang beraspirasi untuk mencapai Kebuddhaan dan status arhat. Dengan ini, Bodhi (2005) menyimpulkan:

Perlu diperhatikan bahwa di dalam tradisi Theravāda yang telah berdiri dengan kokoh, pāramī tidak dianggap sebagai sebuah disiplin yang nampak aneh bagi para kandidat yang ingin mencapai Kebuddhaan saja, namun sebagai praktek yang harus dijalankan oleh mereka yang ingin mencapai pencerahan dan terseberangkan, baik sebagai Buddha, paccekabuddha, ataupun sekedar penganut. Yang membedakan bodhisattva yang maha agung dengan para calon bodhisattva dari dua kendaraan (yana) lainnya adalah tingkat pāramī yang harus dilatih dan lama waktu penekunannya. Namun kualitasnya sendiri adalah syarat universal untuk mencapai pantai seberang, yang harus dipenuhi oleh semua insan setidaknya pada tingkat yang paling minim supaya mendapatkan kelayakan dalam jalan pembebasan.


 

Buddhisme Mahāyāna


Dalam Buddhisme Mahāyāna, Sūtra Prajñapāramitā, Sutra Teratai (Bhs. Sansekerta: Sūtra Saddharma Puṇḍarīka), dan naskah-naskah suci lainnya dalam jumlah besar, memasukkan enam kemuliaan sebagai berikut (dalam istilahnya aslinya – Bahasa Sansekerta):

  1. Dāna pāramitā: kemurahan hati, berkorban diri (dalam Bhs. Mandarin, Korea, dan Jepang: 布施波羅蜜; dalam Bhs. Tibet transliterasi Wylie: sbyin-pa)

  2. Śīla pāramitā: kebajikan, moralitas, disiplin, perbuatan benar (持戒波羅蜜; tshul-khrims)

  3. Kshānti  pāramitā: kesabaran, toleransi, kemampuan menahan diri, kemampuan untuk menerima, ketabahan (忍辱波羅蜜, bzod-pa)

  4. Vīrya pāramitā: energi, ketekunan, semangat, usaha (精進波羅蜜, brtson-’grus)

  5. Dhyāna pāramitā: konsentrasi terpusat, perenungan (禪定波羅蜜, bsam-gtan)

  6. Prajñā pāramitā: kebijaksanaan, wawasan/pencerahan (智慧波羅蜜, shes-rab)


  7. Perhatikan bahwa daftar ini juga disebutkan oleh komentator Theravāda bernama Dhammapala. Ia mengatakan bahwa daftar ini sama dengan sepuluh kemuliaan yang disebutkan di atas.

    Dalam Sutra Sepuluh Tingkatan (Daśabhūmika), masih terdapat empat pāramitā lagi:
  8. Upāya pāramitā: upaya kausalya (memberikan bantuan kemudahan yang disesuaikan dengan jodoh insan yang bersangkutan)

  9. Pranidhāna pāramitā: sumpah, resolusi, aspirasi, kebulatan tekad

  10. Bala pāramitā: kekuatan dharma (spiritual)

  11. Jñāna pāramitā: pengetahuan


 

Buddhisme Tibet


Menurut perspektif Buddhisme Tibet, para praktisi Mahāyāna punya dua macam jalan pelatihan yang bisa dipilih: jalan kemuliaan (Bhs. Sansekerta: pāramitāyāna) atau jalan tantra (Bhs. Sansekerta: tantrayāna), yang juga berarti Vajrayāna.

Traleg Kyabgon Rinpoche menerjemahkan “pāramitā” ke dalam Bahasa Inggris sebagai “tindakan transenden” serta menjelaskan lingkup dan kualitasnya sebagai berikut:

Saat kita mengartikan paramita sebagai “tindakan transendent,” ia menjadi sebuah tindakan atau sikap yang dilakukan secara non-egosentrik. “Transendental” tidak mengacu kepada semacam realitas eksternal, namun kepada cara kita menjalani kehidupan dan melihat (memahami) dunia – baik dalam cara yang egosentrik ataupun non-egosentrik. Enam paramita ada hubungannya dengan usaha yang dilakukan untuk keluar dari mentalitas egosentris.


Gyulü (tubuh ilusi yang suci, hasil latihan dari Enam Yoga Naropa) dikatakan telah terberkati dengan kualitas enam kemuliaan (Bhs. Sanskrit: ad-pāramitā).

 

 

Amituofo / Lotuschef / Pure Karma / True Buddha School

No comments:

Post a Comment