Friday, May 23, 2014

Sebuah Lagu Cinta Yang Sedih


Artikel asli karya Mahaguru Lu
Anotasi oleh Lotuschef – 7 Mei 2014
Diterjemahkan oleh Lotus Nino
Sumber: A Sad Love Song 情愛的悲歌



Sempat melihat ini lagi.
Ada helai-helai pencerahan bahkan di dalam cerita yang menyedihkan.
Kurasa bagian bawah mendekati bagian akhir sungguh mencerahkan.
[Komentar ada di bagian bawah setelah artikel Mahaguru Lu.]

===

Sebuah Lagu Cinta yang Sedih 情愛的悲歌


Artikel Mahaguru Lu, dipublikasikan di World True Buddha Newspaper 450
Diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Shaun Ho
Disunting oleh Cheng Yew Chung
Dikoreksi oleh Jackie Ho dan Jason Yu
Tanggal rilis: 3 Desember 2009
[Rilis terakhir]



Suatu saat aku mendengar seorang gadis berdoa, “Om Guru Lian Sheng Siddhi Hum. Buddha Hidup Lian Sheng, aku telah melakukan puja api homa sebanyak 49 kali. Sekarang aku hendak mengundang Kurukulle untuk memberkatiku dengan cinta dan keharmonisan. Laksanakanlah sesuai dengan sumpahmu, dan kabulkanlah permohonanku untuk menikah dengan teman priaku.”

Ia berdoa dengan sangat tulus, “Aku mohon, Mahaguru! Aku mohon, Kurukulle!”

Puja api homa dari agama buddha aliran Vajrayana sungguh sangat hebat. Karena itulah aku bisa mendengar permohonannya yang berapi-api saat aku sedang melakukan perjalanan spiritual.

Demi menjawab doanya, aku pergi mencari tahu tentang teman prianya itu. Aku kaget melihat teman prianya ternyata juga muridku. Jadi, murid wanitaku jatuh cinta kepada salah seorang murid priaku. Namun, si pria tiap ada kesempatan selalu mencoba menghindarinya.

Yang lebih mengherankanku adalah si murid pria juga melakukan puja api homa. Di dalam homa puja yang dilakukannya juga menyertakan Ragaraja. Ia juga berdoa dengan tulus, “Om Guru Lian Sheng Siddhi Hum. Buddha Hidup Lian Sheng, aku telah melakukan puja api homa Ragaraja sebanyak 49 kali. Mohon berkatilah supaya aku dan kekasihku bisa menikah.”

Masalahnya adalah saat si wanita tergila-gila dengan murid pria ini, si murid pria juga ternyata sedang jatuh cinta kepada wanita lain, bukan si murid wanita tersebut.

Suatu hari si pria membawa kekasihnya ke rumahnya dengan Mercedes-Benz-nya. Mereka terlihat sangat mesra, saling berpegangan tangan dan berciuman. Saat si murid wanita melihatnya, ia terperangah. Ia sungguh sedih dan hanya bisa menyaksikan pria idamannya melingkarkan tangannya di pinggang kekasihnya dan memasuki rumah bersamanya, kemudian menutup pintu.

Si murid wanita menjadi sangat depresi, ia tak mampu lagi menahan air matanya. Ia telah menunggu si murid pria pulang rumah, tapi malah adegan tersebut yang disaksikannya.

Namun ia masih belum putus harapan. Ia pulang ke rumah untuk berdoa dan melakukan sebuah homa puja lagi. Ia berulang kali berteriak dengan nyaring, “Om Guru Lian Sheng Siddhi Hum. Mahaguru, apakah kau tak mendengarku?”

“Namo Kurukulle. Tak ada orang lain yang akan kunikahi kecuali dia, dan dia juga hanya akan menikahiku. Apakah engkau mendengarkan?

Api homa menyala berkobar-koar, namun si pria tetap jatuh cinta dengan kekasihnya sekarang. Ia tak punya rasa cinta sedikitpun kepada si murid wanita ini meski homa puja telah berkali-kali dilakukannya.

Si murid pria juga sangat tekun melakukan sadhana Ragaraja dan telah menjapa Mantra Ragaraja hingga tak terhitung banyaknya. Ia hafal luar kepala.

Akhirnya aku bertemu dengan Kurukulle dan Ragaraja untuk membahas dua murid yang melakukan puja api homa beserta dengan permohonan mereka.

Kami melihat empat persoalan utama:

Sebab-musabab untaian cinta di antara mereka bertiga. (2) Hasil akhir apa yang akan adil dan setara bagi semua pihak? (3) Apakah iman mereka [dalam agama buddha] akan meningkat melalui kekuatan puja api homa? (4) Apakah ada pihak yang akan terlukai?

Dan hasil pembahasannya adalah:
Kurukulle geleng kepala.
Ragaraja juga geleng kepala.
Akupun menggelengkan kepala.

Belitan rasa sayang dan cinta tak pernah berakhir karena tak bisa diputuskan. Mereka yang terobsesi dengan dorongan cinta yang dimunculkan oleh diri sendiri pasti batinnya akan sangat tersiksa. Mereka yang terobsesi dengan cinta seperti ini akan menjadi posesif dan selamanya terjerat dalam lingkaran yang tiada berujung, karena hatinya akan bergetar kesenangan saat semua hal berjalan sesuai dengan keinginannya, namun menjadi marah saat hal-hal tidak sesuai dengan harapannya. Jalan keluar untuk persoalan seperti ini hanyalah dengan membiarkan semua hal berjalan secara alamiah.

Aku masih merasa kasihan kepada murid wanitaku. Aku tahu kalau doanya tak bisa dikabulkan. Bahkan meski dia melakukan puja api homa berkali-kalipun, Kurukulle tak mampu menolongnya. Aku pun juga tak mampu menolongnya.

Aku berbisik kepadanya, “Muridku, kamu minta tolong kepadaku, lantas aku harus bicara ke siapa?”

Ia mendengar suaraku tapi tak bisa melihatku. Ia melihat ke sekeliling sambil kebingungan dan tak mampu memahamiku. Yang bisa kulakukan hanyalah melanjutkan perjalanan spiritualku lagi.

Semua cinta muncul dari sebab dan kondisi. Beberapa jodoh ada yang mendalam, namun yang lainnya dangkal. Beberapa jodoh akan matang, namun yang lainnya belum bisa (belum saatnya). Orang-orang bisa saja melakukan puja api homa dan berdoa, dan meski mereka akan menerima berkat, akan sangatlah sulit untuk merubah berbagai persoalan bila karma dan kondisi telah ditentukan.

Saat semua kondisi telah lengkap, maka otomatis sebab dan jodoh akan matang. Bila kondisi tak terpenuhi, maka tak akan ada yang terjadi meski kamu memaksa.

Aku bukannya bilang bahwa praktik-praktik Vajrayana tak punya kekuatan. Di sini aku mengatakan bahwa kemelekatan terhadap ego, pandangan egois, satkayadrsti [kepercayaan yang salah akan individualitas yang permanen], nafsu yang besar, berbagai wujud materialistik dan karma tetap – semuanya sangat susah dirubah.

Aku telah mencoba sebaik mungkin untuk menyadarkan si murid ini dan berharap ia bisa merelakan, karena hanya itulah satu-satunya cara untuk menghentikan siksaan batinnya.

Suatu hari, pria yang dipujanya akan menikah, namun pengantin wanitanya bukan dia.

Amarah adalah hal yang sangat menakutkan dalam kehidupan manusia. Sekali amarahnya muncul dari lubuk hatinya, maka ia akan marah pada si pria dan pengantin wanitanya. Amarahnya bahkan bisa menjalar kemana-mana hingga ke orang tua dan saudara kandung mereka, serta orang-orang lainnya.

Amarah bisa mengubah segalanya. Dan pada akhirnya ia akan sepenuhnya kehilangan moral, etika, kebijaksanaan, iman  kepada agamanya, dan juga toleransi – ini karena hatinya selamanya termakan oleh kebencian dan rasa tak puas. Akan mustahil baginya untuk menjadi bahagia dan mengalami sukacita kedamaian.

Ia tak mampu menjaga keseimbangan emosinya lagi. Ia pun membenci Mahaguru karena tak memberikan jawaban atas permohonannya. Ia membenci homa puja dan membenci Kurukulle karena tak menolongnya.

Ia menyingkirkan gambar Mahaguru dan semua patung Buddha di altarnya. Tungku api homanya juga diberikan kepada orang lain. Semua peralatan puja dibuangnya, dan ia juga membakar jubah sembahyangnya. Hanya ada kebencian, kebencian, dan kebencian. Kebenciannya tak pernah berakhir.

Aku juga menangis dengan percuma karena aku sadar aku tak bisa mengubah pikirannya. Ia menyobek sertifikat sarananya.

Aku merasa malu karena tak bisa membantunya. Aku juga menyalahkan dan malu akan akan diriku sendiri karena tak mampu menolongnya. Aku sedih tapi tak mampu berbuat apapun dalam situasi yang sedang dihadapinya.

Insan awam punya nafsu, dan banyak dari mereka yang berlindung (bersarana) hanya demi memuaskan nafsu-nafsu mereka. Padahal, begitu seseorang telah bersarana, ia harus merenungkan cara kerja sebab-musabab. Mereka yang selalu berkecimpung dalam nafsu pasti dengan mudah akan kehilangan imannya dalam dharma.

Cobalah renungkan:
Saat mati, kamu tak membawa apapun bersamamu.
Hanya karmamu saja yang akan menyertaimu.
Saat berbagai nafsu tak terpuaskan,
Praktik ajaran agama buddhamu merosot ke sisi gelap.


Begitu kamu bersarana, kamu harus mengembangkan bodhicitta, mengejar kebuddhaan, dan menolong para insan. Hal ini dicapai tanpa mengharap pamrih dan lewat menyadari “kekosongan tiga roda” [kekosongan akan si pemberi, si penerima, dan objek yang diberikan] dan mempraktikkan tiada kemelekatan. Bodhicitta yang dihasilkan darinya tak akan merugikan orang lain maupun diri sendiri. Seorang pemeluk agama buddha yang sejati adalah ia yang terbebas dari segala kekuatiran, terbebas dari pikiran kotor, terbebas dari rintangan, terbebas dari keresahan, terbebas dari emosi yang menganggu, dan terbebas dari kegundahan.

Saat kita melakukan puja api homa, kita memohon para buddha dan bodhisattva untuk memberkati kita semaksimal mungkin. Namun pada saat yang bersamaan, kita harus sadar akan semua penampilan yang dangkal di dunia ini, apakah itu keberhasilan ataupun kegagalan, kesejahteraan ataupun kemiskinan, semua hanyalah fenomena sementara. Yang kita ketahui sebagai “pembentukan, keberlangsungan, kemerosotan, dan kepunahan,” “kemunculan, keberlangsungan, perubahan, dan kepunahan,” “ketidakkekalan,” “tiada ego,” “penderitaan” dan “kekosongan” adalah berbagai hasil dari sebab-musabab (cinta dan romantika asmara muncul dari adanya jodoh).

Saat mempraktikkan ajaran agama buddha, kita perlu mengarahkan diri untuk mencapai kemurahan hati, kesucian, penerangan, dan akhirnya mencapai pembebasan.

Kita mempraktikkan agama buddha untuk mempelajari kebijaksanaan pembebasan dan kebijaksanaan bodhi. Para praktisi harus dipenuhi dengan sukacita dharma, rasa kepuasan yang selalu memancarkan kegembiraan sehingga kesehatan dan kebahagian akan datang, memampukan kita untuk melihat keindahan dalam semua hal, serta mensyukuri semua hal di dalam hidup. Para praktisi harus menyebarkan sukacita dharma bagaikan asap dupa yang mewangikan udara, mampu menyentuh semua insan.

Hidup yang penuh berkat akan tercapai saat keserakahan, amarah, dan kebodohan telah terhapus. Inilah cara pandang sejati akan kehidupan. Kecemburuan dan kebencian sudah pasti bukan pandangan yang benar. Para praktisi agama buddha harus paham bahwa agama buddha dibangun di atas fondasi pandangan yang benar bahwa karma sungguhlah ada. Saat kamu membenci seseorang atau sesuatu, maka kamulah yang pertama kali akan menderita karena kemarahanmu sendiri.

Kepada mereka yang telah bersarana, aku ingin menyampaikan kepadamu sekalian. Apakah kamu tahu isi hati Mahaguru? Saat kamu bersarana, hatimu harus manunggal dengan hatiku. Tahukah kamu akan sumpah-sumpahku? Saat bersarana, kamu harus mematuhi sumpah-sumpah tersebut. Tahukah kamu akan berbagai ajaran Tantra Satya Buddha-ku? Saat kamu bersarana, kamu harus paham berbagai ajaran dharma tersebut. Jangan biarkan perasaan romantis menyetir hidupmu.

Aku harap mereka yang melatih puja api homa akan memfokuskan pikiran mereka sepenuhnya ke dalam melakukan persembahan, beramal, tekun, menjapa mantra, bersyukur dan bersarana, bukannya berdoa, berdoa, dan berdoa. Bagaimana caranya berdoa bisa memuaskan semua insan?

===

Beberapa komentar:

Ada beberapa kunci mendasar dalam artikel Guru di atas.

Apa arti bersarana bagimu?

Yoga – berarti harus menyelaraskan diri dengan Guru Akar.

Jodoh & Sebab – semua ada hubungannya dengan Karma.

Kemauan untuk berubah menjadi lebih baik, dan juga bersadhana untuk menyelamatkan diri dan para insan lain.

Perihal cinta-benci jangan dijadikan prioritas dan sungguh tak berguna!

:)

Boleh dibilang kalau banyak yang bersarana hanya demi Keuntungan Diri Sendiri.

Beberapa orang belajar sadhana untuk membuat diri mereka Kaya, Berkuasa, yang tujuan akhirnya untuk Memupuk Ego, Memuaskan Nafsu, dan sejenisnya.

Kakek Guru Thubten Dhargye (Guru dari Mahaguru Lu) pernah berkata bahwa Punya seorang murid seperti Mahaguru Lu sudah cukup, karena Mahaguru punya jutaan murid!

Ini berarti Seorang Murid yang Tulen sudahlah cukup!

Sebagai ganti dari Aku Berdoa Memohon ini dan itu, kenapa kamu tak bersadhana dan “memberikan” berkat atau mempersembahkan buah pencapaian sadhanamu kepada semua insan?

Para Dewata tak bisa membantumu bila tujuanmu terlalu obsesif seperti cerita di atas.

Saat permohonanmu tak terkabul, yang ada malah rasa benci dan amarah dari Kebodohanmu membakarmu layaknya Api Neraka.

Kamu menjadi destruktif!

Bila kasusnya seperti itu, maka lebih baik kamu jangan bersarana. Jangan lakukan apapun!

Aku sering mengatakan kepada para murid: Bila kamu tak melakukannya dengan benar, lebih baik jangan mulai sama sekali.

Apalagi saat melatih qi-gong. Asal-asalan melatihnya malah akan merusak sistem internalmu dan tak membawa manfaat sama sekali!

Seperti halnya melatih teknik 9 langkah pernafasan, bila tak dilakukan dengan benar, kamu juga akan terluka!

Pola Pikirmu adalah Kunci Yang Menentukan!

Saat kamu tak punya Energi yang Benar, maka kamu tak bisa berlatih dengan baik!

Aku sudah pernah melihat beberapa murid yang memulai dengan sangat antusias, dan beberapa lagi mulai “merasa” bahwa semua urusan mulai lancar. Lalu faktor Keserakahan mulai menyusupi, dan mereka juga terasuki racun-racun Amarah dan Kebodohan pula.

Mereka merasa kalau merela Layak Mendapat Lebih Banyak!

Seperti mendapat Pujian, Gengsi, Kekayaan, Kuasa untuk Mendikte dan Mengendalikan, ...

Seperti di artikel Mahaguru Lu di atas, orang-orang seperti itu akan lenyap dimakan oleh berbagai atribut negatif saat hal-hal yang dialami tak berjalan sesuai dengan yang mereka dambakan!

Teman-temanku sekalian yang terkasih, marilah jadikan tulisan ini sebagai Seruan supaya Bangun. Marilah merefleksikan ajaran-ajaran yang telah dibagikan.

Salam semuanya.


Om Guru Lian Sheng Siddhi Hom
Lama Lotuschef

Related Posts:


No comments:

Post a Comment