Diterjemahkan oleh Lotus Nino
Sumber: Five
Eyes - Dharma Eye
Dari pranala: The Five Eyes
Mata Dharma
Apa itu Mata Dharma? Ia yang memiliki Mata Dharma adalah ia yang tidak tinggal di dalam kekosongan setelah mendapatkan Mata Kebijaksanaan. Sebaliknya, ia sadar bahwa meski apapun yang dilihatnya di berbagai alam hanyalah sekedar manifestasi, namun hal tersebut tetap nyata dalam hubungannya dengan alam tersebut.
Kembali mengacu pada Bagan II. Orang yang hanya memiliki Mata Fisik akan bersikeras percaya bahwa tubuh fisik ini nyata, berhubung dia tidak punya pengetahuan akan keberadaan alam-alam lain. Sedangkan orang yang punya Mata Kebijaksanaan akan melihat bahwa berbagai bentuk tersebut adalah bayangan semu yang tak kekal, tidak bermateri, dan tidak nyata, dan bahwa kekosongan adalah satu-satunya kondisi yang nyata dan kekal. Begitulah orang tersebut akan melekat pada kekosongan.
Kini, orang yang memiliki Mata Dharma akan mengatakan bahwa meski benar semua bentuk merupakan wujud manifestasi, mereka bukanlah entitas yang terpisah dari kekosongan, dan mereka nyata dalam hubungannya dengan alam yang ditempatinya. Realisasi seperti ini secara otomatis akan menghasilkan cinta dan welas asih universal yang tak bersyarat dan non-diskriminatif (tidak membeda-bedakan). Ia yang seperti ini dikatakan telah memiliki Mata Dharma, dan di dalam agama Buddha ia dinamakan seorang Bodhisattva.
Saat ada yang telah mampu mengatasi kemelekatan terhadap kekosongan, maka cinta dan welas asih yang tiada bersyarat dan tak membeda-bedakan yang muncul secara spontan dari pengalaman langsung akan kekosongan sungguh merupakan sebuah keajaiban umat manusia. Ajaran seperti ini yang membuat agama Buddha menjadi agama praktis yang paling unik dan bermakna.
Saya ceritakan sebuah kisah untuk menggambarkan perbedaan antara seorang arahat yang telah mendapatkan Mata Kebijaksanaan dan seorang Bodhisattva dengan Mata Dharma-nya:
Sebuah rumah besar sedang mengalami kebakaran dan rumah tersebut hanya punya satu pintu yang menuju ke jalan keluar yang aman. Banyak pria, wanita dan anak yang sedang bermain di dalam rumah besar tersebut, tapi hanya ada beberapa dari mereka yang sadar akan bahayanya api yang membakar itu. Mereka yang berjumlah sedikit dan sadar akan bahaya tersebut mati-matian mencoba mencari jalan keluar. Jalan yang dicari sungguh panjang dan rumit, tapi mereka akhirnya bisa keluar juga dari rumah tersebut setelah melewati asap yang tebal. Kini bisa menghirup udara yang segar di alam terbuka lagi. Betapa senangnya sambil berbaring di atas tanah dan tak ingin melakukan apa-apa lagi. Namun salah satu dari mereka punya pikiran yang berbeda. Dia ingat masih ada banyak orang yang berada di dalam dan tidak sadar akan bahaya api tersebut. Dia tahu bahwa meski mereka sadarpun, mereka tidak tahu jalan keluarnya. Jadi, tanpa menghiraukan rasa lelahnya, ia kembali masuk ke rumah besar itu lagi dan lagi untuk menuntun orang-orang keluar dari tempat yang penuh bahaya itu.
Orang ini adalah seorang bodhisattva.
Ada sebuah cerita Buddhis yang terkenal yang telah diusung ke para pembaca di barat oleh Professor Huston Smith di bukunya yang terkenal, “Agama-agama Manusia.”* Diceritakan bahwa: Banyak manusia yang pergi menjelajah melewati sebuah gurun untuk mencari harta karun di lokasi yang jauh. Mereka telah berjalan sedemikian jauhnya di bawah sinar matahari yang panas sekali, sungguh lelah, haus dan benar-benar butuh tempat yang teduh untuk beristirahat, serta air atau buah untuk menghilangkan rasa haus. Tiba-tiba mereka sampai di suatu lokasi yang dikelilingi oleh tembok. Salah satu dari mereka memanjat hingga ke atas tembok, berteriak penuh sukacita, dan loncat ke dalam tempat tersebut. Penjelajah yang ke-dua mengikuti yang pertama dan juga loncat ke dalam. Lalu yang ke-tiga juga memanjat hingga ke atas dan yang ia lihat adalah taman yang begitu indah di bawah naungan pohon-pohon palem, lengkap dengan kolam mata air yang besar. Wah, godaan besar ini! Tapi, pas bersiap-siap hendak meloncat masuk ke sana, dia ingat masih banyak penjelajah yang masih mengembara di gurun yang mengerikan itu tanpa tahu keberadaan oasis ini. Akhirnya ia mengalahkan godaan untuk masuk ke lokasi tersebut, kembali menuruni tembok, dan masuk kembali ke gurun yang luas dan panasnya membakar demi menuntun para penjelajah lain menuju ke oasis peristirahatan tersebut.
* New York: American Library, 1958.
Saya percaya semua yang berada di sini tidak akan kesulitan memahami bahwa orang ke-tiga tersebut adalah seorang bodhisattva.
Semua harus tahu bahwa welas asih seperti itu bukanlah palsu tapi benar-benar mendalam dan tidak terbayangkan. Ia tidak punya prasyarat seperti “karena saya menyukaimu” atau “karena kamu mematuhi saya.” Ia tidak membeda-bedakan dan tanpa kondisi. Welas asih dan cinta yang seperti ini akan muncul secara spontan dari pengalaman langsung akan kekosongan, kondisi keharmonisan yang sempurna, kesetaraan, dan tidak adanya kemelekatan terhadap apapun.
Sampai pada titik ini saya harap Anda sekalian sudah punya pemahaman yang baik mengenai empat macam mata. Berikut adalah sebuah cerita mengenai dua sajak yang terkenal di dalam agama Buddha aliran Zen:
Patriak ke-5 di Dinasti Tang – China pernah meminta para muridnya untuk menuliskan sebuah sajak untuk menunjukkan pemahaman mereka akan agama Buddha. Bhiksu ketua, Shen Hsiu, mengajukannya sebagai berikut:
Tubuh yang bagaikan pohon kebijaksanaan,
Pikiran yang bagaikan cermin yang terang.
Di seluruh waktu selalu tekun mengelapnya,
Dan jangan sampai tertempel debu.
Pikiran yang bagaikan cermin yang terang.
Di seluruh waktu selalu tekun mengelapnya,
Dan jangan sampai tertempel debu.
Patriak ke-5 mengomentari bahwa Shen Hsiu hanya baru sampai di gerbang saja dan belum memasuki aula.
Seorang awam bernama Hui Neng juga sedang berada di dalam biara tersebut. Meski ia belum menerima instruksi dari Sang Patriak, namun dia sebenarnya adalah orang yang sangat berbakat. Saat Hui Neng mendengarkan sajak tersebut, ia tidak setuju dengan Shen Hsiu dan berkata, “Saya juga punya sajak.” Kemudian ia menuliskannya sebagai berikut:
Kebijaksanaan bukanlah pohon,
Juga bukan cermin yang bersinar terang.
Karena semuanya kosong,
Dari mana debu bisa menempel?
Juga bukan cermin yang bersinar terang.
Karena semuanya kosong,
Dari mana debu bisa menempel?
Kemudian hari, Hui Neng menjadi murid Patriak ke-5 dan mencapai pencerahan. Ia menjadi Patriak ke-6 dari Buddhisme Zen yang terkenal. Ia memberikan ajaran-ajaran yang berbeda kepada setiap orang berdasarkan kapasitas mereka. Meski tidak ada catatannya, saya percaya bahwa Patriak ke-6 tidak akan ragu-ragu untuk memberitahu seorang pemula yang memohon ajaran bahwa
Tubuh yang bagaikan pohon kebijaksanaan,
Pikiran yang bagaikan cermin yang terang.
Di seluruh waktu selalu tekun mengelapnya,
Dan jangan sampai tertempel debu.
Pikiran yang bagaikan cermin yang terang.
Di seluruh waktu selalu tekun mengelapnya,
Dan jangan sampai tertempel debu.
Kini, dengan mata yang mana Shen Hsiu mengajukan sajaknya? Dan dengan mata yang mana Hui Neng tidak menyetujui sajak Shen Hsiu dan mengajukan sajaknya sendiri? Dan mengapa, setelah ia menjadi Patriak ke-6 ia akan menggunakan sajak yang tak disetujuinya sebelumnya? Mata yang mana yang digunakan oleh Patriak ke-6 pada saat itu? Saya tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, biarlah Anda saja yang menjawabnya.
[Bersambung]
Amituofo
Pure Karma
Lama Lotuschef
True Buddha School
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete