Dibagikan oleh Lotuschef – 23 Februari 2015
Diterjemahkan oleh Lotus Nino
Sumber: Bodhidharma's Wake-up Sermon
Di atas adalah sesi Puja Api Homa di Semarang, Indonesia.
Teman-teman sekalian juga bisa menerjemahkan sendiri dari versi Bahasa Mandarinnya [--- 达磨大师《悟性论 ---]
Salam semuanya.
Om Guru Lian Sheng Siddhi Hom
Lama Lotuschef
~~~~~~~~~~~
Ceramah Penyadaran oleh Bodhidharma
Diterjemahkan dari: Wake-up SermonIntisari dari Sang Jalan adalah melepaskan diri dari kemelekatan. Dan tujuan mereka yang melatihnya adalah terbebaskan dari segala macam rupa penampilan. Di dalam sutra dituliskan bahwa melepaskan diri dari kemelekatan adalah pencerahan, karena ia meniadakan rupa penampilan. Kebuddhaan berarti kesadaran. Orang-orang awam yang pikirannya tersadarkan akan mencari Jalan menuju Pencerahan, dan oleh karenanya disebut sebagai para Buddha. Demikian pula sutra-sutra juga menuliskan, “Mereka yang membebaskan dirinya dari segala macam rupa penampilan disebut sebagai Buddha.” Penampilan dari wujud rupa sebagai [bukan penampilan] tak bisa dilihat secara visual, ia hanya bisa dipahami lewat sarana kebijaksanaan. Siapapun yang mendengar dan mempercayai ajaran ini berarti menapaki Mahayana dan meninggalkan tiga alam. Ketiga alam mengacu pada Keserakahan, Amarah, dan Khayalan. Meninggalkan tiga alam tersebut berarti kembali dari Keserakahan, Amarah, dan Khayalan kepada Moralitas, Meditasi, dan Kebijaksanaan. Keserakahan, Amarah, dan Khayalan tak punya kodrat. Mereka bergantung pada badan jasmani. Dan mereka yang mampu merenung pasti akan melihat kalau kodrat dari Keserakahan, Amarah, dan Khayalan adalah kodrat Buddha. Di luar Keserakahan, Amarah, dan Khayalan tak ada kodrat Buddha lainnya. Demikianlah di dalam sutra dikatakan, “Para Buddha hanya akan menjadi Buddha saat hidup bersama dengan tiga racun, dan memelihara diri mereka dengan Dharma yang suci.” Ketiga racun tersebut adalah Keserakahan, Amarah, dan Khayalan.
Mahayana adalah yana (kendaraan) yang terbesar di antara semua yana. Ia adalah kendaraan para bodhisattva, yang menggunakan semua hal tanpa menggunakan apapun, dan yang bepergian sepanjang hari tanpa bepergian. Demikianlah kendaraan para Buddha.
Di dalam sutra dikatakan, “Tiada kendaraan adalah kendaraan dari para Buddha.”
Oleh karenanya siapapun yang merealisasikan bahwa enam indera tidaklah nyata, bahwa lima skandha (agregat) adalah fiksi, bahwa tak ada satupun dari mereka yang bisa ditemukan di bagian tubuh manapun, akan memahami bahasa para Buddha. Di dalam sutra tertulis, “Gua lima agregat adalah aula Zen. Terbukanya mata batin adalah pintu masuk Mahayana.” Memangnya masih kurang jelas?
Tak memikirkan tentang apapun adalah Zen. Begitu kamu tahu hal ini, maka berjalan, duduk, ataupun berbaring, semua yang kamu lakukan adalah Zen. Memahami kalau pikiran adalah kosong berarti melihat Sang Buddha. Para Buddha dari sepuluh penjuru tak punya pikiran. Demikianlah melihat [tiada pikiran] adalah melihat Sang Buddha.
Melepaskan diri tanpa menyesal adalah amal terbesar. Melampaui gerakan dan keheningan adalah meditasi tertinggi. Orang-orang awam terus bergerak, dan para Arhat berdiam diri. Namun meditasi tertinggi melampaui semua yang dilakukan orang awam maupun Arhat. Orang-orang yang mencapai pemahaman seperti ini akan membebaskan diri mereka dari semua rupa penampilan tanpa perlu bersusah payah, dan menyembuhkan penyakit tanpa perlu perawatan. Demikianlah kesaktian Zen yang agung.
Menggunakan pikiran untuk mencari realita adalah Khayal belaka. Tak menggunakan pikiran untuk mencari realita barulah Kesadaran. Membebaskan diri sendiri dari segala kata-kata berarti Pembebasan. Tak ternoda oleh debu sensasi inderawi berarti Menjaga Dharma. Melampaui kehidupan dan kematian berarti Meninggalkan rumah (ditahbiskan).
Tak menderita kehidupan lain berarti Mencapai Sang Jalan. Tak menciptakan khayalan berarti Pencerahan. Tak melibatkan diri dalam kebodohan berarti Kebijaksanaan. Tiada kekuatiran berarti Nirwana. Dan tiada rupa dari pikiran berarti Pantai seberang.
Saat kamu tersesat, pantai ini muncul. Saat kamu tersadarkan, pantainya tak ada. Orang-orang awam tinggal di pantai ini. Namun mereka yang menemukan kendaraan yang teragung dari segalanya tidaklah tinggal di pantai ini ataupun pantai seberang. Mereka mampu meninggalkan kedua pantai. Mereka yang melihat bahwa pantai yang satu berbeda dari pantai satunya lagi berarti belum paham akan Zen.
Khayalan berarti menjadi awam. Sedangkan kesadaran berarti Kebuddhaan. Mereka tak sama, dan juga tak berbeda. Itu hanyalah cara orang-orang membedakan antara khayalan dengan kesadaran. Saat kita tersesat, ada dunia di mana kita harus meloloskan diri darinya. Saat kita sadar, tak perlu meloloskan diri dari apapun.
Dari sudut Dharma yang Imparsial (setara dan tak bias), sebenarnya orang awam tiada bedanya dengan para suciwan. Di dalam sutra dikatakan bahwa Dharma Imparsial merupakan sesuatu yang tak bisa ditembusi oleh orang awam, dan tak bisa dilatih oleh para suciwan. Dharma Imparsial hanya dilatih oleh para maha bodhisattva dan buddha. Melihat kehidupan sebagai berbeda dari kematian, atau gerakan dianggap berbeda dari keheningan, berarti menjadi parsial. Menjadi imparsial berarti melihat penderitaan tiada bedanya dengan nirwana, karena kodrat dari keduanya adalah kosong. Membayangkan mereka mengakhiri penderitaan dan memasuki nirwana, para Arhat malah akhirnya terperangkap oleh nirwana. Namun para bodhisattva tahu bahwa penderitaan pada dasarnya kosong. Dan dengan berdiam di dalam kekosongan, mereka berdiam di dalam nirwana. Nirwana berarti tiada kelahiran dan tiada kematian. Ia melampaui lahir dan mati, dan melampaui nirwana juga. Saat pikiran berhenti bergerak, ia memasuki nirwana. Nirwana adalah pikiran yang kosong. Saat khayalan sudah tak ada lagi, para Buddha mencapai nirwana. Saat penderitaan sudah tak ada lagi, para bodhisattva memasuki pencerahan – suatu tempat tak berpenghuni yang terbebas dari keserakahan, amarah, ataupun khayalan. Keserakahan adalah alam nafsu, amarah adalah alam dengan wujud, dan khayalan adalah alam tanpa wujud. Saat pikiran terpicu, kamu memasuki tiga alam. Saat sebuah pikiran berakhir, kamu meninggalkan tiga alam. Awal munculnya ataupun berakhirnya ketiga alam, keberadaan ataupun ketidakberadaan segala hal, semuanya bergantung pada pikiran. Dan hal ini berlaku untuk semua hal, bahkan sampai ke benda mati seperti batu dan tongkat.
Siapapun yang mengerti kalau pikiran adalah sebuah fiksi (rekaan), dan tak ada satupun yang nyata, berarti tahu bahwa pikirannya sendiri bukan ada ataupun tiada. Orang-orang awam terus menciptakan pikiran, menganggapnya ia ada. Dan para Arhat terus meniadakan pikiran, menganggapnya tiada. Namun para bodhisattva dan budda tak menciptakan ataupun meniadakan pikiran. Inilah yang dimaksud sebagai “pikiran bukannya ada ataupun tiada” – dan hal ini dinamakan sebagai Jalan Tengah.
Kalau kamu memakai pikiranmu untuk mempelajari realita, kamu tak akan paham akan pikiranmu ataupun realita. Kalau kamu mempelajari realita tanpa menggunakan pikiranmu, kamu akan memahami keduanya. Mereka yang tak paham ya tak akan paham mengenai [pemahaman]. Dan mereka yang paham, akan paham [tidak memahami]. Orang-orang dengan visi penglihatan yang sejati akan tahu kalau pikiran itu kosong. Mereka melampaui pemahaman dan bukan pemahaman. Tiadanya baik [pemahaman] maupun [bukan pemahaman] adalah pemahaman yang sesungguhnya. Dilihat dengan penglihatan sejati, wujud bukanlah sekedar wujud belaka, karena wujud bergantung pada pikiran. Dan pikiran juga bukan sekedar pikiran belaka, karena pikiran bergantung pada wujud. Pikiran dan wujud saling menciptakan dan meninggalkan. Yang [ada] akan muncul dan saling berhubungan dengan yang [tiada]. Dan yang [tiada] tak akan muncul dan berhubungan dengan yang [ada]. Demikianlah visi penglihatan yang sejati. Dengan menggunakan visi semacam ini, tiada yang [dilihat] dan tiada yang [tak dilihat]-nya. Penglihatan semacam ini menembus hingga sepuluh penjuru tanpa melihat: karena tiada yang dilihatnya; karena [tak melihat] berarti [melihat]; karena [melihat] berarti [tak melihat]. Yang dilihat orang awam adalah khayalan. Sedangkan visi penglihatan sejati terlepas dari melihat. Pikiran dan dunia saling bertolak belakang, dan visi penglihatan akan muncul saat mereka saling bertemu. Saat pikiranmu tak bergejolak di dalam, maka dunia tak akan muncul di luar. Saat dunia dan pikiran menjadi tembus pandang, inilah visi penglihatan yang sejati. Dan pemahaman semacam ini adalah pemahaman yang sejati.
Tak melihat apapun berarti melihat Sang Jalan, dan tak memahami apapun berarti memahami Dharma, karena melihat bukanlah [melihat] ataupun [tak melihat], dan berhubung pemahaman bukanlah [pemahaman] ataupun [bukan pemahaman]. Melihat tanpa melihat adalah visi yang sejati. Mehamami tanpa memahami adalah pemahaman yang sejati.
Visi yang sejati bukan sekedar melihat yang [melihat]. Ia juga melihat yang [tak melihat]. Dan pemahaman yang sejati bukanlah sekedar memahami [pemahaman]. Ia juga memahami yang [bukan pemahaman]. Kalau kamu paham semua hal, berarti kamu tak paham. Hanya saat kamu tak memahami sesuatupun, barulah dikatakan pemahaman yang sejati. Pemahaman adalah bukan [memahami] ataupun [tak memahami].
Di dalam sutra dikatakan, “Tidak melepaskan kebijaksanaan berarti kebodohan.” Jadi saat pikiran tak ada, baik [pemahaman] maupun [bukan pemahaman] menjadi benar. Saat pikiran ada, [pemahaman] dan [bukan pemahaman] menjadi salah semuanya. Saat kamu paham, realita bergantung kepadamu. Saat kamu tak paham, kamu bergantung pada realita. Saat realitas bergantung padamu, yang tak nyata akan menjadi nyata. Saat kamu bergantung pada realita, yang nyata akan menjadi salah. Saat kamu bergantung pada realita, semuanya menjadi salah. Saat realita bergantung padamu, semuanya menjadi benar. Demikianlah para suciwan tak menggunakan pikirannya untuk mencari realita, ataupun realita untuk mencari pikirannya, ataupun pikirannya untuk mencari pikirannya sendiri, ataupun realita untuk mencari realita. Pikirannya tak menimbulkan realita. Dan realita tak memicu pikirannya. Dan berhubung pikirannya dan realita sama-sama hening, maka ia selalu berada di dalam kondisi samadhi.
Saat pikiran awam muncul, Kebuddhaan menghilang. Saat pikiran awam menghilang, Kebuddhaan muncul. Saat pikiran muncul, realita menghilang. Saat pikiran menghilang, realita muncul. Siapapun yang tahu bahwa tak ada satupun hal yang bergantung pada apapun juga, ia telah menemukan Sang Jalan. Dan siapapun yang memahami bahwa pikiran tak bergantung pada apapun, ia selalu berada di dalam pencerahan.
Saat kamu tak paham, kamu salah. Saat kamu paham, kamu tak salah. Ini karena kodrat [salah] adalah kosong. Saat kamu tak paham, yang benar sepertinya salah. Saat kamu paham, yang salah tidaklah salah, karena [salah] itu tak ada.
Di dalam sutra dikatakan, “Tak ada satupun yang punya kodratnya sendiri.” Bertindaklah. Jangan bertanya. Karena begitu kamu bertanya, kamu salah. [Salah] adalah hasil dari bertanya. Saat kamu telah mencapai pemahaman seperti ini, segala tindakan yang salah dari berbagai kehidupan di masa lampaumu akan terhapuskan. Saat kamu tersesat, enam indera dan lima bayangan menjadi penyebab penderitaan dan kematian. Begitu kamu tersadarkan, enam indera dan lima bayangan menjadi bahan pencapaian nirwana dan keabadian.
Ia yang mencari Sang Jalan tak mencari di luar dirinya sendiri. Ia tahu kalau pikiran adalah Sang Jalan. Namun saat ia menemukan pikiran, ia tak menemukan apapun. Dan saat ia menemukan Sang Jalan, ia tak menemukan apapun. Bila kamu berpikir bisa menggunakan pikiran untuk menemukan Sang Jalan, berarti kamu tersesat. Saat kamu tersesat, Kebuddhaan akan [ada]. Saat kamu sadar, Kebudhaan menjadi [tak ada]. Ini karena kesadaran adalah Kebudhaan.
Kalau kamu mencari Sang Jalan, ia tak akan muncul hingga tubuhmu menghilang. Seperti mengupas kulit pohon dari sebuah pohon. Tubuh karma ini selalu mengalami perubahan. Ia tak punya realita yang pasti. Bersadhanalah sesuai pikiranmu. Jangan membenci hidup dan mati, atau mencintai hidup dan mati. Bebaskan segala pikiranmu dari khayalan dan di dalam kehidupan ini kamu akan menyaksikan awal dari nirwana, dan di dalam kematian kamu akan mengalami [kepastian akan tiada kelahiran kembali].
Melihat wujud tapi tak ternodai olehnya, atau mendengar suara namun tak ternodai olehnya, adalah Pembebasan. Mata yang tak melekat pada wujud adalah pintu gerbang Zen. Singkatnya, mereka yang melihat keberadaan dan kodrat fenomena tanpa melekat kepadanya akan Terbebaskan. Mereka yang melihat wujud luaran fenomena malah terpenjara olehnya. Tidak menjadi subjek dari penderitaan adalah yang dimaksud sebagai Pembebasan. Tak ada pembebasan selain itu. Kalau kamu tahu cara melihat wujud, maka wujud tak akan memicu pikiran, dan pikiran tak akan memunculkan wujud. Baik wujud maupun pikiran suci adanya.
Kalau tak ada khayalan, maka pikiran adalah tanah suci para Buddha. Saat ada khayalan, pikiran menjadi neraka. Orang-orang awam menciptakan khayalan. Dan dengan [menggunakan pikiran] untuk [melahirkan pikiran], mereka selalu menemukan diri mereka di neraka. Para bodhisattva menembusi semua khayalan. Dan dengan tak [menggunakan pikiran] untuk [melahirkan pikiran], mereka selalu menemukan diri mereka di tanah suci para Buddha. Kalau kamu tak [menggunakan pikiran]-mu untuk [menciptakan pikiran], semua kondisi pikiranmu adalah kosong, dan tiap pikiran menjadi tenang. Kamu melanglang menyusuri tanah-tanah suci para Buddha. Kalau kamu [menggunakan pikiran]-mu untuk [menciptakan pikiran], setiap kondisi pikiranmu akan terganggu dan setiap pikiranmu akan selalu bergerak. Demikianlah kamu melanglang dari satu neraka ke neraka lainnya. Saat pikiran muncul, maka muncul juga yang namanya Karma Baik dan Karma Buruk, Surga dan Neraka. Saat tak ada pikiran yang muncul, maka tak ada Karma Baik ataupun Karma Buruk, tak ada Surga ataupun Neraka.
Tubuh ini bukan [ada] ataupun [tiada]. Oleh karenanya, [keberadaan] sebagai seorang awam dan [ketidakberadaan] sebagai seorang suciwan, adalah konsep-konsep yang seorang suciwan tak mengurusinya. Hatinya kosong dan luas bagaikan langit. Dari sanalah baru akan menyaksikan Sang Jalan. Ia melampaui para Arhat dan orang-orang awam.
Saat pikiran mencapai nirwana, kamu tak melihat nirwana, karena pikiran adalah nirwana. Kalau kamu melihat nirwana di suatu tempat di luar pikiran, berarti kamu menyesatkan dirimu sendiri.
Segala bentuk penderitaan merupakan benih buddha, karena penderitaan mendorong orang-orang awam untuk mencari kebijaksanaan. Kamu tak bisa bilang bahwa penderitaan merupakan Kebuddhaan. Tubuh dan pikiranmu adalah lahannya. Penderitaan adalah benihnya, kebijaksanaan merupakan tunasnya, dan Kebuddhaan adalah butiran gandumnya. Sang Buddha di dalam pikiran adalah bagaikan sebuah wewangian di dalam pohon. Ia datang dari pikiran yang bebas dari penderitaan, seperti wewangian yang menyebar dari pohon yang tak lapuk/membusuk. Jadi tak ada wewangian tanpa si pohon, dan tiada Buddha tanpa sang pikiran. Kalau ada wewangian tanpa sebuah pohon, berarti itu jenis wewangian lain. Kalau ada seorang Buddha tanpa pikiranmu, itu adalah Buddha lain.
Saat tiga racun ada di dalam pikiranmu, kamu tinggal di tanah yang kotor.
Saat tiga racun menghilang dari pikiranmu, kamu tinggal di tanah suci.
Demikianlah di dalam sutra dikatakan, “kalau kamu mengisi sepetak tanah dengan noda dan kotoran, tak akan ada Buddha yang muncul.” Noda dan kotoran mengacu pada racun-racun. Buddha mengacu pada pikiran yang suci dan tersadarkan. Tiada bahasa yang bukan Dharma.
Seharian penuh berbicara terus tanpa mengatakan sepatah katapun adalah Sang Jalan.
Seharian penuh berhening dan masih mengatakan sesuatu berarti bukan Sang Jalan.
Jadi ucapan seorang Tathagata tak bergantung pada keheningan, ataupun keheningannya bergantung pada ucapan, ataupun ucapannya terpisah dari keheningannya. Mereka yang memahami baik ucapan maupun keheningan berarti berada di dalam samadhi. Kalau kamu bicara saat kamu tahu, Ucapanmu adalah bebas. Kalau kamu diam saat kamu tak tahu, diam-mu itu terikat. Bila ucapan tak melekat pada wujud, maka ia bebas. Lagipula kemelekatan tak ada hubungannya dengan bahasa. Realita tidaklah tinggi ataupun rendah. Kalau kamu melihat tinggi ataupun rendah, maka itu bukan yang sejati. Rakit tidaklah nyata, namun rakit (yang menyeberangkan) penumpang adalah nyata. Orang yang menaiki rakit seperti itu dapat menyeberangi sesuatu yang tak nyata. Demikianlah kenapa hal itu nyata.
Menurut dunia, ada yang namanya pria dan wanita, kaya dan miskin. Namun menurut Sang Jalan, tak ada pria ataupun wanita, tak ada kaya ataupun miskin. Saat seorang dewi merealisasikan Sang Jalan, ia tak merubah jenis kelaminnya. Saat bocah istal (pengurus kandang kuda) tersadarkan akan Kebenaran Sejati, ia tak merubah statusnya. Bebas dari jenis kelamin dan status, mereka punya tampilan mendasar yang sama. Sang dewi selama dua belas tahun mencari sisi kewanitaannya tanpa berhasil sedikitpun. Demikian pula bila menghabiskan dua belas tahun untuk mencari sisi laki-lakinya juga tak akan berbuah. Dua belas tahun mengacu pada [dua belas pintu masuk]. Maka tanpa pikiran, tiada Buddha. Tanpa Buddha, juga tiada pikiran.
*) Dua belas pintu masuk adalah: 6 organ inderawi (mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan pikiran) + 6 objek inderawi (pemandangan, suara, bau, rasa, sentuhan, dan pikiran).
Sama halnya, tanpa air maka tak ada es, dan tanpa es maka tak ada air. Siapapun yang bicara mengenai [meninggalkan pikiran] tak akan pergi jauh ke mana-mana. Janganlah melekat pada rupa penampilan pikiran. Di dalam sutra dikatakan, “Saat kamu tak melihat rupa penampilan, kamu melihat Sang Buddha.” Itulah yang dimaksud terbebas dari rupa penampilan pikiran. Tanpa [pikiran] maka tak ada Buddha – berarti Sang Buddha muncul dari pikiran. Pikiran melahirkan Buddha. Namun meski Buddha lahir dari pikiran, pikiran tak datang dari Sang Buddha, seperti ikan yang datang dari air, tapi air bukan datang dari ikan. Siapapun yang ingin melihat ikan akan melihat air sebelum melihat ikannya. Dan siapapun yang ingin melihat Buddha, akan melihat pikirannya sebelum ia melihat Sang Buddha. Begitu kamu melihat si ikan, kamu melupakan airnya. Begitu pula saat kamu telah melihat Sang Buddha, kamu melupakan pikiran. Kalau kamu tak melupakan pikiran, maka pikiran malah akan membingungkanmu, seperti air yang akan membingungkanmu bila kamu tak melupakannya.
Fana dan Kebuddhaan itu seperti air dan es. Menderita tiga racun berarti fana. Sedangkan tersucikan oleh tiga pelepasan adalah Kebuddhaan. Yang membeku menjadi es di musim dingin akan meleleh menjadi air di musim panas. Hilangkan es maka tak akan ada air lagi. Menyingkirkan kefanaan maka tak ada lagi Kebuddhaan. Sudah jelas bahwa kodrat es sama dengan kodrat air. Dan kodrat air sama dengan kodrat es. Kodrat kefanaan sama dengan kodrat Kebuddhaan. Kefanaan dan Kebuddhaan punya kodrat yang sama, sama seperti Wuto dan Futzu (ket: tanaman Aconitum carmichaelii) punya akar yang sama tapi berbeda musim. Hanya karena khayalan perbedaan saja sehingga kita punya kata-kata [Kefanaan] dan [Kebuddhaan]. Saat seekor ular menjadi naga, ia tak berganti kulit. Dan saat seorang awam menjadi suciwan, ia tak berganti wajah. Ia tahu akan pikirannya sendiri melalui kebijaksanaan batinnya, dan mengurus/memelihara tubuhnya lewat disiplin eksternal.
Orang-orang awam menyelamatkan para Buddha, dan sebaliknya para Buddha menyelamatkan orang-orang awam. Demikianlah yang dimaksud sebagai kesetaraan (imparsial). Orang awam menyelamatkan Buddha karena penderitaan menciptakan kesadaran. Sedangkan Buddha menyelamatkan orang awam karena kesadaran menghilangkan penderitaan. Penderitaan selalu ada, tapi kesadaran juga selalu ada. Kalau bukan karena penderitaan, maka tak ada bahan untuk menciptakan kesadaran. Dan kalau bukan karena kesadaran, maka tak ada bahan untuk menghilangkan penderitaan. Saat kamu tersesatkan, para Buddha menyelamatkan orang-orang awam. Saat kamu tersadarkan, orang-orang awam menyelamatkan para Buddha. Para Buddha tak menjadi Buddha begitu saja. Mereka diselamatkan oleh orang-orang awam. Para Buddha menganggap khayalan sebagai ayah mereka, dan keserakahan sebagai ibu mereka. Khayalan dan keserakahan adalah nama lain dari Kefanaan. Khayalan dan Kefanaan bagaikan tangan kiri dan tangan kanan. Tak ada bedanya.
Saat kamu tersesat, kamu berada di pantai ini. Saat kamu tersadarkan, kamu berada di pantai seberang. Namun begitu kamu tahu kalau pikiranmu kosong dan kamu tak melihat rupa penampilan, kamu telah melampaui khayalan dan kesadaran. Dan begitu kamu telah melampaui kedua hal tersebut, pantai seberang sudah tak ada lagi. Tathagata bukan berada di pantai ini ataupun di pantai seberang. Ia juga tak berada di tengah-tengahnya. Para Arhat berada di tengah-tengahnya dan orang-orang awam di pantai ini. Kebuddhaan ada di pantai seberang.
Para Buddha punya tiga tubuh: tubuh transformasi (nirmanakaya), tubuh pahala (sambhogakaya), dan tubuh sejati (dharmakaya). Tubuh transformasi juga dinamakan tubuh inkarnasi. Tubuh Transformasi muncul saat orang-orang awam melakukan perbuatan baik, Tubuh Pahala muncul di saat mereka melatih kebijaksanaan, dan Tubuh Sejati muncul saat mereka telah sadar akan keagungan yang maha mulia. Tubuh Transformasi adalah tubuh yang kamu lihat terbang di seluruh penjuru untuk menyelamatkan para insan di manapun berada. Tubuh Pahala mengakhiri segala keraguan. Pencerahan Agung yang muncul di Himalaya tiba-tiba menjadi nyata. Tubuh Sejati tak melakukan dan tak mengatakan apapun. Ia sepenuhnya hening. Namun sebenarnya tak ada satupun tubuh buddha, apalagi sampai menjadi tiga.
Pembahasan mengenai tiga tubuh ini hanya berdasarkan pemahaman manusia saja, yang bisa saja dangkal, sedang, ataupun mendalam.
Orang-orang dengan pemahaman yang dangkal akan membayangkan mereka mengumpulkan berkat dan salah menganggap Tubuh Transformasi sebagai Sang Buddha.
Mereka dengan pemahaman yang sedang akan membayangkan mereka sedang mengakhiri penderitaan dan salah menganggap Tubuh Pahala sebagai Sang Buddha.
Sedangkan mereka dengan pemahaman mendalam membayangkan mereka sedang mengalami Kebuddhaan dan salah menganggap Tubuh Sejati sebagai Sang Buddha.
Namun mereka dengan pemahaman paling mendalam akan melihat ke dalam dan tak terpengaruh oleh apapun juga.
Berhubung pikiran yang jernih adalah Sang Buddha, mereka mendapatkan pemahaman seorang Buddha tanpa menggunakan pikiran. Tiga tubuh, seperti semua hal lainnya, tak dapat dicapai dan tak bisa digambarkan pula.
Pikiran yang leluasa akan mencapai Sang Jalan. Demikianlah di dalam sutra dikatakan, “Para Buddha tak membabarkan Dharma. Mereka tak menyelamatkan para insan awam. Dan mereka tak mengalami Kebuddhaan.” Inilah yang kumaksudkan. Para insan menciptakan karma, namun karma tak menciptakan para insan. Mereka menciptakan karma di kehidupan ini dan menerima balasannya di kehidupan selanjutnya. Mereka tak bisa lari. Hanya ia yang sempurna yang tak menciptakan karma di kehidupan ini dan tak menerima balasannya juga. Di dalam sutra di katakan, “Ia yang tak menciptakan karma akan mendapatkan Dharma.” Ini bukan omong kosong belaka. Kamu bisa menciptakan karma, tapi kamu tak bisa menciptakan seorang manusia. Saat kamu menciptakan karma, kamu terlahir kembali bersama dengan karmamu. Saat kamu tak menciptakan karma, kamu menghilang bersama dengan karmamu. Demikianlah, karma bergantung pada individu, dan individu bergantung pada karma, bila seorang individu tak menciptakan karma, maka karma tak akan berpegang kepadanya. Dengan cara yang sama, “Seseorang bisa memperbesar Sang Jalan, namun Sang Jalan tak bisa memperbesar seseorang.”
Orang-orang awam terus menciptakan karma dan dengan salahnya bersikeras kalau tak ada retribusi. Tapi bisakah mereka menyangkal adanya penderitaan? Bisakah mereka menyangkal apa yang kondisi pikiran saat ini tabur maka kondisi pikiran selanjutnya akan tuai? Bagaimana caranya mereka meloloskan diri? Namun bila kondisi pikiran sekarang tak menabur apapun, kondisi pikiran selanjutnya tak akan menuai apapun. Jangan sampai salah memahami karma.
Di dalam sutra dikatakan, “Meski percaya kepada para Buddha, orang-orang membayangkan kalau para Buddha yang melatih penyangkalan diri (menjauhi kesenangan) bukanlah umat Buddha. Sama halnya dengan mereka yang membayangkan kalau para Buddha akan menerima balasan kekayaan ataupun kemiskinan. Mereka ini para icchantika. Mereka tak mampu percaya.” Ia yang paham akan ajaran para suciwan adalah seorang suciwan. Ia yang paham akan ajaran orang-orang awam adalah orang awam. Seorang awam yang mampu melepaskan ajaran awam dan mengikuti ajaran suciwan akan menjadi seorang suciwan. Namun orang-orang bodoh di dunia ini suka mencari suciwan di luaran sana. Mereka tak percaya kalau kebijaksanaan pikiran mereka sendiri adalah Sang Suciwan. Di dalam sutra dikatakan, “Kepada orang-orang yang tak punya pemahaman, jangan babarkan sutra ini.” Dan dikatakan juga, “Pikiran adalah ajaran.” Namun orang-orang yang tak punya pemahaman tak percaya kalau pikiran mereka sendiri atau dengan memahami ajaran ini mereka bisa menjadi suciwan. Mereka lebih suka mencari pengetahuan di luaran sana dan mendamba hal-hal di angkasa, patung/citra (sesuatu yang menyerupai) buddha, sinar, dupa, dan warna. Mereka termakan umpan kepalsuan dan pikirannya tersesat sampai jadi gila.
Di dalam sutra dikatakan, “Saat kamu melihat semua [rupa penampilan] sebagai bukan [rupa penampilan], kamu melihat Tathagata.” Pintu menuju Kebenaran Sejati banyaknya tak terhingga, namun mereka semua datang dari pikiran. Saat rupa penampilan pikiran menjadi setransparan angkasa, mereka hilang semuanya. Penderitaan kita yang tiada berakhir adalah akar dari segala penyakit. Saat orang-orang awam masih hidup, mereka kuatir akan kematian. Saat mereka kenyang, mereka kuatir akan kelaparan. Mereka selalu berada dalam kondisi Ketidakpastian yang Besar. Namun para suciwan tak mempertimbangkan masa lalu. Mereka juga tak kuatir akan masa depan. Juga tak melekat pada saat ini. Dan dari waktu ke waktu mereka selalu mengikuti Sang Jalan. Kalau kamu belum sadar akan kebenaran agung ini, lebih baik cari seorang guru di atas bumi ini atau di dalam surga. Jangan menumpuk kekuranganmu sendiri.
[--- Akhir dari Ceramah Penyadaran oleh Bodhidharma ---]
~~~~~~~~~~~
Hahaha!
Nasihat Bagus lagi dari Bodhidharma, Sang Patriak Zen! Sungguh bersyukur kepada para penerjemah ceramah ini!
Salam semuanya.
Om Guru Lian Sheng Siddhi Hom
Lama Lotuschef
No comments:
Post a Comment