Dibagikan oleh Lotuschef dari
Wikipedia – 25 Oktober 2012
Diterjemahkan oleh Lotus Nino
Sumber: Lotuschef in Sharing Fundamentals – Bhūmi (Buddhism)
Pranala Sumber: Wikipedia – Bhumi (Buddhism)
Image © Fujino Shokan
Diterjemahkan oleh Lotus Nino
Sumber: Lotuschef in Sharing Fundamentals – Bhūmi (Buddhism)
Pranala Sumber: Wikipedia – Bhumi (Buddhism)
Image © Fujino Shokan
Sepuluh Bhumi Bodhisattva (dari
Bhs. Sansekerta; Bhs. Tibet: byang chub
sems dpa'i sa, tingkat pencerahan insan) adalah sepuluh tingkat jalan
pencerahan bodhisattva dalam Mahayana.
Istilah Sansekerta “bhumi” berarti “tanah” atau
“fondasi”. Setiap bhumi mewakili tingkat pencapaian dan menjadi landasan untuk
pencapaian tingkat selanjutnya. Setiap tingkat juga menunjukkan tingkat
kemajuan yang jelas yang menunjukkan hasil latihan si praktisi, yaitu dengan
disertainya kekuatan spiritual dan kebijaksanaan yang lebih besar.
Lima Jalan
Bhumi
merupakan sub-kategori dari Lima Tahap (pañcamārga, transliterasi Wylie: lam
lnga):
- Tahap Mengumpulkan Bekal (Sambhara-marga, Wylie: tshogs lam). Mereka yang berada di tahap ini:
- Punya hasrat yang kuat untuk mengatasi penderitaan, baik diri mereka sendiri ataupun insan lain;
- Meninggalkan kehidupan duniawi.
- Tahap persiapan atau aplikasi (prayoga-marga, Wylie: sbyor lam). Mereka yang berada di tahap ini:
- Mulai melatih meditasi;
- Punya pengetahuan analitis akan kekosongan (shunyata).
- Tahap Melihat (darsana-marga, Wylie: mthong lam). Mereka yang berada di tahap ini:
- Melatih meditasi konsentrasi yang mendalam akan sifat sejati dari realitas;
- Menyadari kosongnya realitas.
- Tahap Meditasi (bhavana-marga, Wylie: sgom lam). Mereka yang berada di tahap ini akan menyucikan diri mereka sendiri dan mengumpulkan kebijaksanaan.
- Tahap Tiada Lagi Pembelajaran atau Penyempurnaan (asaiksa-marga, Wylie: mi slob pa’I lam atau thar phyin pa'i lam). Mereka yang berada di tahap ini telah sempurna menyucikan diri mereka.
Dalam
melatih dan menjalani tahap-tahap tersebut semuanya dimulai dengan Bodhicitta,
harapan untuk menyeberangkan semua insan. Saat membuat komitment
Sumpah Bodhisattva, Bodhicitta Niat
(Aspirasi) akan berubah menjadi Bodhicitta
Pelayanan. Dengan tahapan tersebut, si praktisi menjadi seorang Bodhisattva
dan memasuki lima jalan pelatihan.
Sebelum berhasil mencapai sepuluh bhumi,
bodhisattva menempuh dua yang pertama dari lima tahapan dalam Mahayana:
- Tahap Mengumpulkan Bekal
- Tahap Persiapan
Sepuluh bhumi bodhisattva dikelompokkan ke dalam
tiga tahapan yang bersambung seperti berikut:
- Bhumi 1: Tahap Melihat
- Bhumi 2-7: Tahap Meditasi
- Bhumi 8-10: Tahap Tiada Lagi Pembelajaran
Dalam agama Buddha aliran Hua-yen, ada 40 tahap
sebelum memasuki bhumi pertama:
- 10 iman
- 10 kediaman
- 10 pelatihan
- 10 pelimpahan pahala kebajikan
Dalam agama Buddha aliran Tientai, mereka yang
mempraktikkan “ajaran yang sempurna” berarti telah setara dengan pancapaian
arahat hanya dengan iman yang ke-4.
Literatur Mahayana sering menjelaskan mengenai
“dua rintangan” (Wylie: sgrib gnyis):
- “Rintangan emosi khayalan yang menipu” (Bhs. Sansekerta: kleśa-varaṇa, Wylie: nyon-mongs-pa'i sgrib-ma).
- “Rintangan pengetahuan” (Bhs. Sansekerta: jñeyāvaraṇa, Wylie: shes-bya'i sgrib-ma).
Rintangan emosi khayalan akan teratasi saat
berhasil mencapai Tahap Melihat, dan rintangan pengetahuan akan teratasi saat
menjalani Tahap Meditasi. Namun tidak semua aliran buddhis setuju dengan
pernyataan tersebut, seperti Bhiksu Son dari Korea yang bernama Kihwa,
menyatakan bahwa rintangan pengetahuan hanya bisa teratasi setelah mencapai
bhumi ke-10.
Sepuluh Bhumi
Sutra Avatamsaka menjelaskan sepuluh bhumi
sebagai berikut:
- Bhumi pertama – Yang Sangat Gembira (Skt. Paramudita), di mana ia berbahagia karena berhasil merealisasikan sebagian aspek kebenaran.
- Bhumi ke-dua – Tak Bernoda (Skt. Vimala), di mana ia bersih dari semua kekotoran.
- Bhumi ke-tiga – Yang Bercahaya Terang (Skt. Prabhakari), di mana ia memancarkan cahaya kebijaksanaan.
- Bhumi ke-empat – Yang Cemerlang (Skt. Archishmati), di mana api kebijaksanaan yang cemerlang membakar semua nafsu duniawi.
- Bhumi ke-lima – Yang Susah Dilatih (Skt. Sudurjaya), di mana ia mengatasi ilusi kegelapan (kebodohan) dengan Jalan Tengah.
- Bhumi ke-enam – Pengejawantahan Nyata (Skt. Abhimukti), di mana kebijaksanaan unggul mulai termanifestasi.
- Bhumi ke-tujuh – Telah Berjalan Jauh (Skt. Duramgama), di mana ia telah melampaui Dua Kendaraan (Sravaka-yana dan Pratekyabuddha-yana).
- Bhumi ke-delapan – Yang Tak Bergeming (Skt. Achala), di mana ia punya kekokohan akan Jalan Tengah, dan berbagai macam fenomena tak dapat mengganggunya.
- Bhumi ke-sembilan – Kecerdasan yang Baik (Skt. Sadhumati), di mana ia membabarkan Ajaran Dharma dengan leluasa dan tanpa halangan.
- Bhumi ke-sepuluh – Awan Ajaran Dharma (Skt. Dharmamegha), di mana ia sudah mampu memberi manfaat pada semua insan dengan Ajaran Dharma, bagaikan awan yang memberi hujan pada segala sesuatu dengan seimbang dan adil (imparsial).
Bhumi ke-1, Yang Sangat Gembira
Bhumi pertama, yang dinamakan “Sangat Gembira”, akan tercapai dengan pengetahuan langsung akan kekosongan (shunyata) dan bersamaan saat melangkah masuk ke tahap ke-3 dari Lima Tahap Pencerahan – Tahap Melihat. Ia dinamakan “sangat gembira” karena bodhisattva berusaha menyempurnakan kemurahan hati dan mengembangkan kemampuan untuk mampu merelakan segalanya tanpa ada penyesalan dan tanpa mengharapkan pamrih dan pujian (untuk dirinya sendiri). Semua fenomena dilihatnya sebagai kosong dan pasti akan mengalami kerusakan, penderitaan, dan kematian; begitulah adanya maka para bodhisattva akan kehilangan kemelekatan terhadap semuanya itu. Menurut Je Tsongkhapa, para bodhisattva di tingkat pertama ini langsung memahami bahwa fenomena bentuk manusia tak punya jati diri; oleh karenanya, mereka mampu mengatasi konsep salah yang mengatakan bahwa lima agregat membentuk diri manusia sesungguhnya. Mereka juga sepenuhnya menghapus kecenderungan terhadap etika yang merusak sehingga hal-hal tersebut tidak muncul lagi.
Meski telah mampu memahami kekosongan, para
bodhisattva di tingkat ini kebanyakan masih termotivasi oleh iman. Mereka
melatih etika perbuatannya untuk menghapuskan hal-hal negatif dari pikiran
mereka dan dengannya mereka mempersiapkan diri untuk melatih penyerapan
meditatif duniawi yang akan muncul pada tingkat selanjutnya (ke-2).
Bhumi ke-2, Tak Bernoda
Para Bodhisattva di tingkat ke-2, “Tak Bernoda”, menyempurnakan etika dan mengatasi semua tendensi untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Pengendalian dirinya menjadi sebegitu sempurnanya hingga di dalam mimpi mereka juga tak punya pikiran-pikiran yang tak bermoral. Menurut Je Tsongkhapa, bodhisattva ini “di segala waktu, baik saat sadar maupun tidur, semua gerakan atau aktivitas tubuh, ucapan, dan pikirannya selalu bersih tanpa ada sedikitpun pelanggaran... ia menyempurnakan 3 kebajikan: tidak membunuh, mencuri, maupun melakukan seks yang menyimpang – dengan tubuhnya; kemudian juga 4 jalur pertengahan: tidak berbohong, ucapan yang memecah-belah, kata-kata kasar, dan pembicaraan yang tak berguna – dengan ucapannya; dan 3 jalur yang terakhir: tidak tamak, pikiran jahat, dan pandangan yang keliru (menyimpang) – dengan pikirannya. Tak hanya menahan diri dalam mengatasi larangan-larangan tersebut, tapi ia juga menyempurnakan berbagai pencapaian positifnya yang berhubungan dengan etika perbuatan.”
Dan menurut Nagarjuga:
Tingkat ke-2 ini dinamakan Tanpa Noda
Karena kesemua 10 perbuatan bajik
Yang dilakukan oleh tubuh, ucapan, dan pikirannya tiada bernoda
dan oleh karenanya mereka secara alami mematuhi [aturan etika perbuatan].
Dengan matangnya [kualitas-kualitas yang baik ini]
Kesempurnaan etika perbuatan menjadi unggul.
Mereka menjadi Cakrawartin* yang menolong para insan,
Para pemimpin empat benua dan tujuh obyek berharga yang mulia.
Karena kesemua 10 perbuatan bajik
Yang dilakukan oleh tubuh, ucapan, dan pikirannya tiada bernoda
dan oleh karenanya mereka secara alami mematuhi [aturan etika perbuatan].
Dengan matangnya [kualitas-kualitas yang baik ini]
Kesempurnaan etika perbuatan menjadi unggul.
Mereka menjadi Cakrawartin* yang menolong para insan,
Para pemimpin empat benua dan tujuh obyek berharga yang mulia.
*) Chakrawartin {atau Cakravartin, atau
Cakkavatti} merujuk kepada sosok seorang penguasa jagat yang ideal, seorang
maharaja yang bijaksana dan welas asih kepada seluruh makhluk di dunia.
Karena hal tersebut, pikiran bodhisattva menjadi
tersucikan dan berada dalam kendali total, yang merupakan prasyarat untuk
melatih empat meditasi penyerapan (dhyana)
dan empat penyerapan tanpa bentuk (arupya-samapattis).
Bhumi ke-3, Yang Bercahaya Terang
Je Tsongkhapa menjelaskan bahwa bhumi ke-3 disebut sebagai “Yang Bercahaya Terang” karena saat telah tercapai maka “api kebijaksanaan akan membakar semua energi obyek pengetahuan yang muncul bersama dengan sinar yang secara alami mampu menghancurkan semua elaborasi dualitas saat berada dalam kestabilan meditatif.” Bodhisattva di tingkat ini melatih kesempurnaan kesabaran. Kestabilan mereka menjadi sangat mendalam hingga bila ada orang yang... memotong, tidak hanya daging tapi juga tulang, dari tubuh bodhisattva ini, bukan bagian besar melainkan kecil-kecil sedikit demi sedikit, tidak secara terus-menerus melainkan berhenti-berhenti sejenak, dan tidak diselesaikan secara cepat melainkan memotongnya dalam jangka waktu panjang, sang bodhisattva tidak akan marah pada orang yang memutilasinya.
Sang bodhisattva menyadari bahwa orang yang
menyiksanya melakukan hal tersebut karena termotivasi oleh pikiran-pikirannya
yang menyedihkan dan sedang menabur benih-benih penderitaannya sendiri untuk
masa mendatang. Oleh karenanya, sang bodhisattva tidak menjadi marah, namun
merasakan kesedihan yang mendalam dan berbelas kasih atas orang yang kejam
tersebut, yang tidak sadar akan cara kerja karma.
Mereka yang melatih diri pada tingkat ke3 ini
mengatasi semua kecenderungan terhadap amarah, dan tidak pernah bereaksi dengan
kebencian (atau bahkan merasa kesal) terhadap perbuatan-perbuatan ataupun
kata-kata jahat. Sebaliknya, kestabilan hati mereka tetap terjaga, dan semua
insan dipandang dengan cinta dan welas asih:
Bahwa semua amarah dan dendam nantinya akan
kembali pada orang yang membangkitkannya, dan orang tersebut tidak melakukan
apapun untuk menghapus kerusakan yang telah dialaminya sendiri. Karena hal
tersebut bersifat kontra-produktif di mana menghancurkan kedamaian pikiran dan
membawa orang yang bersangkutan pada kondisi yang tidak menyenangkan di masa
mendatang. Sungguh tak ada satupun manfaat yang bisa dipetik dari amarah dan
dendam, membalas dendampun juga tak akan merubah masa lalu, dan oleh
karenanya para bodhisattva menghindarinya. Terlebih lagi, penderitaan yang
sedang dialami orang seseorang hanyalah merupakan buat dari kelakuan buruknya
di masa lampau; jadi musuh seseorang hanyalah seorang agen dari matangnya karma
yang tak bisa dihindari.
Para bodhisattva di tingkat ini juga melatih
empat meditasi bentuk (rupa-dhyana),
empat meditasi tak berbentuk (arupa-dhyana),
empat batin yang tiada batas (brahmawihara/apramana),
dan pengetahuan tingkat lanjut (siddhi supranatural/abhijna).
Bhumi ke-4, Yang Cemerlang
Di tingkat ke-4, “Yang Cemerlang”, para bodhisattva melatih kesempurnaan usaha dan menghancurkan penderitaan. Menurut Wonch’uk, tingkatan ini dinamai demikian karena para bodhisattvanya “tiada henti memancarkan sinar kebijaksanaan yang mulia.” Ia juga mengutip Ornamen Sutra-sutra Mahayana dari Maitreya, yang menjelaskan bahwa para bodhisattva di tingkat ini membakar semua rintangan penderitaan dan rintangan pengetahuan yang tiada batas dengan kecemerlangan sinar kebijaksanaan mereka. Selangkah demi selangkah mereka memasuki penyerapan meditatif dan kemudian mendapatkan kelenturan pikiran yang dahsyat. Hal ini menghancurkan kemalasan dan meningkatkan kemampuan mereka dalam melatih meditasi untuk jangka waktu yang lebih panjang. Mereka menghancurkan rintangan yang telah mengakar dengan dalam dan melatih 37 keharmonisan yang muncul dengan adanya penyadaran.
Lewat pelatihan 37 sadhana tersebut, para
bodhisattva mengembangkan kemampuan agung dalam penyerapan meditatif dan
pelatihan kebijaksanaan, sambil memperlemah konsepsi-konsepsi buatan dan bawaan
akan eksistensi yang sejati.
Bhumi ke-5, Yang Susah Dilatih
Tingkat ke-5 dinamakan “Susah Dilatih” karena mencakup sadhana yang berat dan membutuhkan usaha yang besar untuk menyempurnakannya. Tingkat ini juga dinamakan “Susah Diatasi” karena saat si praktisi telah menyelesaikan pelatihan tingkat ini, ia akan memiliki kebijaksanaan dan wawasan yang mendalam yang susah untuk diungguli atau dihancurkan. Menurut Nagarjuna:
Yang ke-5 dinamakan “Sangat Sulit untuk Diatasi”
Karena semua yang jahat juga kesusahan menaklukkannya;
Ia menjadi terampil dalam mengetahui berbagai hal-hal yang halus dan mendetil
mengenai kebenaran utama dan ajaran-ajaran lainnya.
Karena semua yang jahat juga kesusahan menaklukkannya;
Ia menjadi terampil dalam mengetahui berbagai hal-hal yang halus dan mendetil
mengenai kebenaran utama dan ajaran-ajaran lainnya.
Para bodhisattva di tingkat ini melatih
kesempurnaan samadhi. Mereka mengembangkan kekuatan stabilisasi meditatif dan
mengatasi berbagai macam kecenderungan terhadap gangguan. Mereka akan
mendapatkan keberhasilan dalam fokus pikiran dan menyempurnakan kemampuan untuk
tinggal dalam ketenangan. Mereka juga sepenuhnya menembusi arti Empat Kebenaran
Mulia dan Dua Kebenaran (kebenaran konvensional dan kebenaran tertinggi) serta
melihat semua fenomena sebagai hal yang kosong, sementara (tidak abadi) dan
rentan penderitaan.
Bhumi ke-6, Pengejawantahan (Manifestasi)
Tingkat ke-6 adalah “Pengejawantahan” karena bodhisattva di tingkat ini mampu dengan jelas melihat cara kerja Hukum Sebab-Musabab yang Saling Bergantungan (pratityasamutpada) dan langsung memahami “Ketiadaan Atribut Persepsi” (Bhs. Sansekerta: Animitta, Bhs. Tibet: Mtshan ma med pa). Ketiadaan atribut persepsi mengacu pada fakta bahwa fenomena sepertinya terlihat bagai obyek yang punya berbagai kualitas nyata yang terlihat oleh mata, namun saat kita memeriksa penampakan ini lebih lanjut, kita akan menyadari bahwa semua kualitasnya hanyalah persepsi pikiran saja dan bahkan bukan sebagian dari ciri-ciri sifat alaminya yang nampak.
Sebagai hasil dari pemahaman-pemahaman inilah para
bodhisattva memanifestasikan kebijaksanaan meditatif dan menghindari kemelekatan
terhadap siklus samsara ataupun nirwana. Karena telah mengatasi semua
kemelekatan, para bodhisattva di tingkat ini dapat mencapai nirwana, namun
karena kekuatan pikirannya yang telah tercerahkan, mereka memutuskan untuk
tinggal di dunia ini guna memberi manfaat bagi para insan. Mereka melatih
Kesempurnaan Kebijaksanaan dan dengannya mampu melihat semua fenomena sebagai
hal yang tak punya sifat hakiki (yang sesungguhnya/sebenarnya), bagaikan mimpi,
ilusi, refleksi, atau obyek yang dimunculkan secara magis. Semua gagasan akan
“Aku” dan “Yang Lain” telah dilampaui, beserta dengan segala konsepsi akan
“sifat hakiki” dan “non-hakiki”. Para bodhisattva di tingkat ke-6 berdiam dalam
perenungan sifat sejati kebuddhaan, dengan pikiran mereka yang tak terganggu
oleh pemikiran-pemikiran yang salah.
Bhumi ke-7, Telah Berjalan Jauh
Para bodhisattva di tingkat ke-7 mengembangkan kemampuan untuk merenungi Ketiadaan Atribut Persepsi tanpa terputus dan memasuki penyerapan meditatif tingkat lanjut untuk jangka waktu yang lebih panjang, dan dengan ini mereka melampaui baik jalur duniawi maupun supra-duniawi sravaka dan pratyekabuddha. Dengan alasan inilah, tingkat ini dinamakan “Telah Berjalan Jauh”. Menurut Nagarjuna:
Tingkat ke-7 adalah Telah Berjalan Jauh karena
Jumlah kualitasnya telah meningkat,
Dari waktu ke waktu ia bisa memasuki
Kestabilan yang menghentikan segala hal.
Jumlah kualitasnya telah meningkat,
Dari waktu ke waktu ia bisa memasuki
Kestabilan yang menghentikan segala hal.
Begitulah para bodhisattva di tingkat ini
menyempurnakan kemampuan mereka dalam sarana meditasi dan sadhana (Bhs. Tibet: Thabs
la mkhas pa, Bhs. Sansekerta: Upaya-Kausalya), yang merupakan
kemampuan mereka untuk menyesuaikan strategi mengajar mereka dengan
kecenderungan dan kebutuhan para pendengarnya. Mereka juga mengembangkan
kemampuan untuk membaca/mengetahui pikiran orang lain, dan dari waktu ke waktu
mampu melatih semua paramita. Semua pikiran dan tindakannya telah bebas dari
rintangan, dan mereka selalu bertindak dengan leluasa dan efektif demi memberi
manfaat bagi para insan lainnya.
Bhumi ke-8, Yang Tak Bergeming
Tingkat ke-8 dinamakan “Tak Bergming” karena para bodhisattva di tingkat ini mengatasi semua rintangan akan tanda-tanda persepsi dan pikiran mereka sepenuhnya terserap ke dalam dharma. Di tingkat ini, seorang Arya Bodhisattva telah mencapai realisasi yang sepenuhnya setara dengan Arahat Theravada. Di tingkat ini, sang bodhisattva telah mencapai Nirwana. Menurut Nagarjuna,
Tingkat ke-8 adalah Tak Bergeming, tahap yang
penuh semangat,
Melalui “tanpa elaborasi konsep” ia tak bergeming;
Dan berbagai aktivitas dimensi-dimensi tubuh, ucapan, dan pikirannya
Sungguh tak terbayangkan (oleh pikiran awam).
Melalui “tanpa elaborasi konsep” ia tak bergeming;
Dan berbagai aktivitas dimensi-dimensi tubuh, ucapan, dan pikirannya
Sungguh tak terbayangkan (oleh pikiran awam).
Karena mereka sepenuhnya mengenal tiada
sesuatupun yang muncul sebagai bentuk nyata, maka pikiran mereka tak bergerak
karena ide-ide akan adanya tanda bentuk nyata. Para bodhisattva yang ada di
bhumi ke-8 ini juga dianggap “tak dapat dibalik” karena sudah tak ada
kemungkinan lagi bagi mereka untuk mundur dari jalan yang telah ditempuhnya.
Mereka telah digariskan untuk mencapai kebuddhaan dengan sempurna, dan tak ada
lagi kecenderungan untuk mencapai nirwana demi diri sendiri. Mereka melatih
“kesempurnaan niat (aspirasi)”, yang berarti berusaha memenuhi berbagai macam
sumpah, yang karena hal tersebut mereka mengumpulkan berbagai sebab untuk
kebajikan yang lebih jauh lagi. Meski mereka memutuskan untuk bekerja demi
memberi manfaat para insan lainnya, dan mereka juga memenuhi alam semesta
dengan keramahan terhadap semua insan, para bodhisattva ini telah melampaui
segala macam kecenderungan untuk salah mengartikan Ketiada-Akuan (Anatta/Anatman).
Pemahaman mereka akan kekosongan sebegitu
sempurnanya hingga hal tersebut menjungkirbalikkan khayalan kemelekatan, dan
realitas menjadi nampak dalam dimensi yang baru. Mereka dengan mudah memasuki
meditasi kekosongan. Para bodhisattva di tingkat ini kira-kira bisa
dianalogikan dengan orang yang telah terbangun dari mimpinya, dan semua
persepsinya dipengaruhi oleh kesadaran baru ini.
Mereka mencapai kondisi
meditatif yang dinamakan “kesabaran akan fenomena yang tak muncul”, yang karena
hal tersebut mereka tak lagi berpikir dalam kerangka penyebab yang hakiki atau tanpa
penyebab yang hakiki. Mereka juga mengembangkan kemampuan untuk bermanifestasi
menjadi berbagai macam bentuk demi mengajar para insan. Welas asih dan
kemudahannya telah berjalan otomatis dan spontan. Tak perlu lagi merencanakan
atau memikirkan cara yang terbaik untuk memberi manfaat bagi para insan, ini
karena para bodhisattva di tingkat ke-8 secara otomatis telah tahu cara
bereaksi dengan benar dalam setiap situasi.
Bhumi ke-9, Kecerdasan yang Baik
Mulai dari tingkat ini, para bodhisattva bergerak cepat menuju pencerahan sempurna. Sebelum mencapai tingkat ini, kemajuannya masih lambat, kira-kira seperti sebuah perahu yang ditarik melewati pelabuhan. Namun di tingkat ke-8 hingga 10, para bodhisattva melangkah dengan cepat menuju kebuddhaan, seperti kapal yang mencapai pantai dan mengembangkan layarnya. Di tingkat ke-9 ini, mereka sepenuhnya memahami tiga kendaraan – arahat, pratyekabuddha, dan bodhisattva – dan menyempurnakan kemampuan mereka untuk membabarkan doktrin ajaran. Menurut Sutra Penjelasan Pikiran:
Karena mencapai tiada kesalahan dan kecerdasannya
yang sangat luas dalam hal penguasaan pembabaran ajaran dalam semua aspek,
tingkat ke-9 dinamakan sebagai “Kecerdasan yang Baik”.
Bodhisattva bhumi ke-9 juga mendapatkan “empat
pengetahuan analitis” yang terdiri dari: konsep-konsep fundamental (dasar),
arti, prinsip ilmu/teknik, dan pembabaran. Karena pengetahuan tersebut, mereka
mengembangkan kefasihan dan kemampuan yang menakjubkan dalam menjelaskan
berbagai doktrin ajaran. Kecerdasan mereka melampaui semua manusia dan dewa,
dan mereka memahami semua nama, kata, arti, dan bahasa. Mereka mampu memahami
berbagai macam pertanyaan dari mahluk apapun. Mereka juga punya kemampuan untuk
menjawabnya dengan sebuah suara tunggal, yang dipahami oleh setiap insan sesuai
dengan kapasitan mereka. Di tingkat ini mereka juga melatih kesempurnaan virya (energi – ketekunan- antusiasme),
yang berarti karena kekuatan penguasaan mereka akan empat pengetahuan analitis
dan meditasi, mereka mampu mengembangkan paramita dengan penuh energi dan
melatihnya secara berkesinambungan tanpa menjadi lelah karenanya.
Bhumi ke-10, Awan Ajaran Dharma
Di bhumi ke-10, para bodhisattva menghapus jejak-jejak rintangan hingga yang paling halus. Bagaikan sebuah awan yang menurunkan hujan di atas bumi, para bodhisattva ini menyebarkan dharma di segala penjuru, dan setiap insan menyerap apa yang dibutuhkannya supaya mampu berkembang secara spiritual. Begitulah Nagarjuna mengatakan bahwa:
Tingkat ke-10 adalah Awan Dharma karena
Turunnya hujan ajaran-ajaran yang unggul,
Sang Bodhisattva tersucikan
Dengan sinar dari para Buddha.
Turunnya hujan ajaran-ajaran yang unggul,
Sang Bodhisattva tersucikan
Dengan sinar dari para Buddha.
Di tingkat ini, para bodhisattva secara
progresif memasuki penyerapan meditatif yang lebih mendalam dan mengembangkan
kekuatan yang tiada batas dalam hal kemampuan magis. Mereka mengembangkan kesempurnaan
kebijaksanaan nan agung yang, menurut Asanga, memampukan mereka untuk
mengembangkan kebijaksanaan agung mereka. Hal ini kemudian akan memperkuat
kesempurnaan paramita lainnya. Dan hasilnya, mereka menjadi kokoh dalam
kebahagiaan ajaran dharma.
Mereka mendapatkan tubuh yang sempurna, dan
pikirannya terbersihkan dari segala rintangan yang terhalus. Mereka
bermanifestasi dalam berbagai bentuk yang tiada batas demi memberi manfaat bagi
insan lainnya dan melampaui batas waktu dan ruang. Mereka mampu menyerap
sistem-sistem dunia ke dalam sebuah pori-pori, tanpa memperkecil atau
memperbesar ukuran pori-porinya. Saat mereka melakukan hal ini, para insan yang
di dalam sistem dunia tersebut tidak merasakan ketidaknyamanan, hanya para
bodhisattva tingkat lanjut saja yang bisa melihatnya.
Para bodhisattva di tingkat ini menerima sebuah
bentuk abhiseka pemberkatan dari buddha yang banyaknya tak terhingga. Inilah
yang dinamakan “sinar cahaya yang agung”, karena kecemerlangan para bodhisattva
ini menyinari semua penjuru. Abhiseka ini membantu mereka dalam membersihkan
sisa-sisa rintangan untuk mendapatkan Kemahatahuan dan memberi mereka tambahan
rasa percaya diri dan kekuatan. Di momen akhir dari tingkat ini mereka memasuki
kondisi meditatif yang dinamakan “stabilisasi meditatif bagai vajra”, di mana
sisa-sisa rintangan yang paling halus dalam menuju kebuddhaan akan teratasi.
Dari konsentrasi semacam ini mereka muncul sebagai Buddha.
Bhumi Tambahan (Lanjutan)
Dengan 10 bhumi ini, berbagai aliran Vajrayana masih
mengenali 3 hingga 10 bhumi tambahan.
---
Om Guru Lian Sheng Siddhi Hom
Lama Lotuschef
---
Om Guru Lian Sheng Siddhi Hom
Lama Lotuschef
No comments:
Post a Comment