16-9-2011 Back to Basics [2] - The Four Noble
Truths
16-9-2011 Mengingat kembali
ajaran-ajaran utama [2] – Empat Kebenaran Mulia
The
Four Noble Truths
1. Life means
suffering.
2. The origin of
suffering is attachment.
3. The cessation of
suffering is attainable.
4. The path to the
cessation of suffering.
1. Life
means suffering.
To live means to suffer, because the human
nature is not perfect and neither is the world we live in. During our lifetime,
we inevitably have to endure physical suffering such as pain, sickness, injury,
tiredness, old age, and eventually death; and we have to endure psychological
suffering like sadness, fear, frustration, disappointment, and depression.
Although there are different degrees of suffering and there are also positive
experiences in life that we perceive as the opposite of suffering, such as
ease, comfort and happiness, life in its totality is imperfect and incomplete,
because our world is subject to impermanence. This means we are never able to
keep permanently what we strive for, and just as happy moments pass by, we
ourselves and our loved ones will pass away one day, too.
2. The
origin of suffering is attachment.
The origin of suffering is attachment to
transient things and the ignorance thereof. Transient things do not only
include the physical objects that surround us, but also ideas, and -in a
greater sense- all objects of our perception. Ignorance is the lack of
understanding of how our mind is attached to impermanent things. The reasons
for suffering are desire, passion, ardour, pursuit of wealth and prestige,
striving for fame and popularity, or in short: craving and clinging. Because
the objects of our attachment are transient, their loss is inevitable, thus
suffering will necessarily follow. Objects of attachment also include the idea
of a "self" which is a delusion, because there is no abiding self.
What we call "self" is just an imagined entity, and we are merely a
part of the ceaseless becoming of the universe.
3. The
cessation of suffering is attainable.
The cessation of suffering can be attained
through nirodha. Nirodha means the unmaking of sensual craving and conceptual
attachment. The third noble truth expresses the idea that suffering can be
ended by attaining dispassion. Nirodha extinguishes all forms of clinging and
attachment. This means that suffering can be overcome through human activity,
simply by removing the cause of suffering. Attaining and perfecting dispassion
is a process of many levels that ultimately results in the state of Nirvana.
Nirvana means freedom from all worries, troubles, complexes, fabrications and
ideas. Nirvana is not comprehensible for those who have not attained it.
4. The
path to the cessation of suffering.
There is a path to the end of suffering - a
gradual path of self-improvement, which is described more detailed in the
Eightfold Path. It is the middle way between the two extremes of excessive
self-indulgence (hedonism) and excessive self-mortification (asceticism); and
it leads to the end of the cycle of rebirth. The latter quality discerns it
from other paths which are merely "wandering on the wheel of
becoming", because these do not have a final object. The path to the end
of suffering can extend over many lifetimes, throughout which every individual
rebirth is subject to karmic conditioning. Craving, ignorance, delusions, and
its effects will disappear gradually, as progress is made on the path.
Extracted from thebigview.com
=====
Translated by Lotus Nino Candra
Empat Kebenaran Mulia adalah:
1.
Hidup adalah penderitaan.
2.
Sumber dari penderitaan adalah kemelekatan.
3.
Penderitaan bisa diakhiri.
4.
Jalan untuk mengakhiri penderitaan.
1. Hidup adalah penderitaan.
Dengan kita hidup berarti kita
juga menderita, karena sifat alami manusia memang tidak sempurna, begitu juga
dengan dunia yang kita tinggali ini. Dalam kehidupan, kita tidak dapat mengelak
dari berbagai penderitaan fisik seperti rasa sakit, penyakit, luka, rasa lelah,
hari tua, dan akhirnya kematian. Pada saat yang sama kita juga harus menahan
penderitaan psikologis seperti rasa sedih, takut, frustrasi, kecewa, dan
depresi. Meski tingkat penderitaan tersebut berbeda-beda dan juga ada
pengalaman-pengalaman positif dalam hidup ini yang kita anggap sebagai
kebalikan dari penderitaan – seperti rasa leluasa, nyaman dan bahagia – hidup
secara keseluruhan bisa disebut sebagai tidak sempurna dan tidak lengkap,
karena dunia kita bersifat tidak kekal. Ini berarti bahwa kita tidak pernah
dapat memiliki secara permanen atas apa yang kita perjuangkan, dan begitu juga
dengan momen-momen kebahagiaan yang akan lewat, kita dan orang-orang yang kita
cintai pada suatu hari akan meninggal dunia juga.
2. Sumber dari penderitaan adalah kemelekatan.
Yaitu melekat pada hal-hal yang
bersifat sementara saja dan oleh karenanya disebut sebagai kebodohan. Semua hal
yang bersifat sementara ini tidak hanya berupa obyek-obyek fisik di sekeliling
kita, tapi juga meliputi ide, dan – dalam skala yang lebih besar – semua obyek
hasil persepsi kita. Kebodohan adalah kurangnya pemahaman akan bagaimana
pikiran kita ini melekat pada hal-hal yang tidak kekal. Alasan-alasan kita
menderita adalah karena hasrat, nafsu, rangsangan seksual, pengejaran kekayaan
dan prestis (gengsi), popularitas, atau secara pendek: mengidam dan melekat.
Karena obyek-obyek dari kemelekatan kita ini bersifat sementara saja, dan
kehilangannya juga tidak bisa dihindari, maka secara otomatis penderitaan juga
akan mengikuti. Obyek-obyek kemelekatan juga termasuk ide mengenai ‘diri’ yang
merupakan delusi (khayalan) karena sebenarnya tidak ada diri yang berdiam. Yang
kita sebut sebagai ‘diri’ hanyalah sebuah realitas konseptual (entitas) yang
kita bayangkan saja, dan kita hanyalah sebuah bagian dari keberadaan alam
semesta yang konstan.
3. Penderitaan bisa diakhiri.
Penderitaan bisa dihentikan
melalui nirodha. Nirodha adalah proses menghancurkan nafsu sensual dan
kemelekatan pada konsep. Kebenaran mulia yang ke-tiga ini menunjukkan pada ide
bahwa penderitaan bisa diakhiri dengan mencapai kondisi tiada nafsu. Nirodha
akan menghancurkan semua bentuk kemelekatan. Ini berarti bahwa penderitaan bisa
diatasi lewat aktivitas-aktivitas kita, dengan membuang semua penyebab
penderitaan. Untuk mencapai dan menyempurnakan kondisi tiada nafsu ini harus
melewati berbagai proses dalam banyak tingkat yang akirnya mencapai hasil dalam
kondisi Nirvana. Nirvana berarti kebebasan dari semua kekuatiran, masalah,
kerumitan, kepalsuan dan ide-ide. Nirvana tidak bisa dipahami oleh mereka yang
belum mencapainya.
4. Jalan untuk mengakhiri penderitaan.
Ada jalan untuk mengakhiri
penderitaan – yaitu jalan perbaikan diri secara bertahap, yang akan dijelaskan
lebih lanjut dalam ‘Jalan Mulia Berunsur Delapan’. Ini adalah jalan tengah di antara
dua ekstrim: kesenangan pribadi yang berlebihan (hedonisme) dan penyangkalan
diri yang berlebihan (asketisme). Jalan tengah ini akan membawa kita untuk
mengakhiri siklus reinkarnasi. Kualitas jalan tengah ini juga membedakannya
dari jalan-jalan lain yang hanya ‘beputar-putar dalam roda reinkarnasi’ karena
tidak mempunyai sebuah obyek akhir. Jalan untuk mengakhiri penderitaan ini
dapat bersambung (berlanjut ke) dalam banyak kehidupan, di mana dalam setiap
kelahiran kembali seseorang akan dipengaruhi oleh berbagai kondisi karma.
Nafsu, kebodohan, khayalan, dan semua efek-efeknya akan hilang secara
berangsur-angsur saat seseorang mengalami kemajuan dalam jalan ini.
Diekstrak dari thebigview.com
Amituofo / Lotuschef / Pure Karma / True Buddha
School
No comments:
Post a Comment