Dibagikan dengan anotasi oleh Lotuschef – 17 Juni 2017
Diterjemahkan oleh Lotus Nino
Sumber: [2] Phala 果位
Di atas ini: Mahaguru Lu sedang mengajarkan 道果 Lamdre.
道 – Tahapan Jalan (Marga)
果 – Tahapan Buah Keberhasilan (Phala)
Pencapaian
Istilah untuk momen pertama pencapaian adalah jalan memasuki aliran (sotāpatti-magga), yang memotong tiga belenggu pertama. Ia yang mengalaminya dinamakan sebagai seorang pemenang-aliran (sotāpanna).
Yang dikatakan sebagai srotapanna adalah yang mempunyai pemahaman intuitif mengenai dharma, mahluk bijak ini memiliki Pandangan Benar (sammā diṭṭhi) dan punya keyakinan yang tak tergoyahkan di dalam Buddha, Dharma, dan Sangha.
Buddha, Dharma, dan Sangha, kadang kala disebut sebagai Tiga Rangkap Sarana, dan di lain waktu disebut sebagai objek-objek yang dikenang.
Pada umumnya, keyakinan yang teguh di dalam Buddha, Dharma, dan Sangha, dianggap sebagai salah satu dari empat bagian pemenang-aliran (sotāpannassa angāni).
Srotapanna juga dikatakan telah “membuka mata Dharma” (Dharmacaksu), berhubung mereka telah merealisasikan bahwa apapun yang muncul pasti akan berakhir (tidak kekal).
Oleh karenanya keyakinannya kepada dharma yang sejati tak akan goyah.
Sekilas awal memahami elemen yang tak berkondisi, asankhata, mereka bisa melihat tujuan akhirnya, pada saat jalan yang mereka telusuri telah matang (marga-phala).
Sebaliknya di mana mereka yang memasuki aliran telah melihat nirwana dan kemudian menjadi yakin, maka seorang arhat mampu menenggak airnya sepenuhnya, bila menggunakan kiasan dari Sutra Kosambi (SN 12.68) – mengenai sebuah “sumur”, yang ditemui di sepanjang jalan yang gersang.
Namun sisa tiga jalan berikut:
Kembali sekali lagi (sakadāgāmin),
Tidak kembali (anāgāmin),
dan kedewaan (arahatta)
menjadi “takdir” (sammatta niyāma) bagi mereka yang memasuki aliran.
Pencerahan mereka sebagai seorang murid (arya sravaka) menjadi tak terelakkan dalam 7 kehidupan melewati berbagai transmigrasi di antara menjadi dewa dan manusia;
Bila tekun (appamatta, appamāda) dalam bersadhana sesuai dengan instruksi (satthāra) dari Sang Guru Pembimbing, mereka bisa tersadarkan secara sempurna dalam kehidupan saat ini juga.
Di masa mendatang hanya ada sedikit penderitaan yang harus dilewati.
Dalam naskah-naskah agama Buddha masa awal (seperti Sutra Ratna) dikatakan bahwa seorang yang memasuki aliran tak akan lagi terlahir ke dalam rahim binatang, atau neraka, atau sebagai hantu kelaparan.
Berbagai jalan menuju tujuan kelahiran yang sengsara (durgati) telah ditutup bagi mereka.
Juga tak akan mungkin melakukan enam “kejahatan keji” (abhithanani) yang akan menjatuhkan mereka ke dalam neraka selama berkalpa-kalpa. Keenam kejahatan tersebut adalah: (1) membunuh ibu, (2) membunuh ayah, (3) membunuh arhat, (4) dengan niat jahat mencelakai Buddha hingga menumpahkan darah, (5)menyebabkan perpecahan di dalam paguyuban Sangha, dan (6) berguru pada guru lain.
Mereka hanya akan terlahir ke dalam keluarga “bangsawan”, atau sebagai mahluk surgawi.
Tiga belenggu
Di dalam kanon berbahasa Pali, kualitas seorang srotapanna digambarkan sebagai berikut:
… para bhiksu yang telah melepaskan tiga belenggu, adalah para pemenang aliran, mereka tegar, tak akan pernah lagi ditakdirkan mengalami kondisi duka, berjalan menuju penyadaran diri.
Demikianlah Dharma yang kuproklamirkan selalu jelas, terbuka, nyata terbukti, berkualitas tinggi.
— Sutra Alagaddupama
Tiga belenggu yang disingkirkan oleh sotapanna adalah:
[1] Pandangan Diri – Pandangan akan substansi atau gabungan (sankhata) bisa menjadi abadi di dalam lima agregat (wujud, perasaan, persepsi [daya paham], niat, pengetahuan kesadaran) dan kemudian dimiliki sebagai ‘aku’ (subjek), ‘aku’ (objek), atau ‘milikku’.
Seorang srotapanna sebenarnya tidak mempunyai pandangan mengenai diri (sakkāya-ditthi), karena doktrin tersebut diproklamirkan sebagai wujud kemelekatan yang halus.
[2] Melekat pada upacara dan ritual – Mengenyahkan pandangan bahwa ia menjadi suci dengan mudahnya lewat melakukan ritual (persembahan hewan, berbilas, menjapa, dll.) atau menganut moralisme secara kaku, atau bersandar kepada seorang dewa untuk penyelamatan tanpa menghiraukan sebab-musabab (issara nimmāna). Upacara dan ritual kini malah lebih mengaburkan daripada mendukung pandangan benar seorang srotapana yang mata dharma-nya telah terbuka.
Srotapanna menyadari bahwa penyelamatan hanya bisa dimenangkan melalui praktik Jalan Mulia Beruas Delapan. Ia telah menghilangkan gagasan mengenai mujizat maupun jalan pintas.
[3] Curiga dan ragu-ragu – Keraguan kepada Buddha, ajarannya (Dharma), dan komunitasnya (Sangha) telah dilenyapkan karena srotapanna secara pribadi telah mengalami kodrat sejati realitas melalui pengetahuan yang mendalam, dan wawasan tersebut mengkonfirmasi keakuratan ajaran Buddha.
Dengan melihat maka keraguan tersingkirkan, karena rupa merupakan sebuah wujud penglihatan (darsana) yang memampukannya untuk mengetahui (jnana).
Pencemaran
Menurut Penjelasan dalam Bahasa Pali, enam jenis pencemaran pada akhirnya akan ditinggalkan oleh seorang srotapanna, dan tidak ada lagi pelanggaran berat:
Iri hati
Cemburu
Munafik
Curang
Fitnah
Dominasi
Kelahiran Kembali
Seorang srotapanna terselamatkan dari kejatuhan ke berbagai situasi yang menyedihkan (mereka tak akan terlahir sebagai seekor binatang, hantu, atau mahluk neraka). Nafsu, kebencian dan khayalan mereka tidak cukup kuat untuk menyebabkan kelahiran kembali di alam-alam yang lebih rendah.
Ia masih harus terlahir kembali paling banyak 7 kali di alam manusia atau surga sebelum mencapai nirwana.
Tidak harus terlahir sebanyak 7 kali sebelum mencapai nirwana, berhubung seorang praktisi yang tekun bisa melaju ke tahap yang lebih tinggi di dalam kehidupan yang sama di mana ia mencapai tingkat Srotapanna dengan membuat sebuah niat dan usaha yang gigih untuk mencapai nirwana sebagai tujuan akhirnya.
Enam tindakan yang tak akan diperbuat
Seorang srotapanna tidak akan melakukan enam tindakan salah berikut:
Membunuh ibu sendiri.
Membunuh ayah sendiri.
Membunuh seorang arhat.
Dengan niat jahat melukai Buddha hingga menyebabkannya berdarah.
Sengaja membuat perpecahan dalam komunitas sangha.
Mengangkat guru lain [selain Buddha].
~~~~~~~~~~~~~~~
Ada kutipan di dalam Pengantar Redaktur di dalam “PARA MURID AGUNG SANG BUDDHA” oleh Nyanaponika Thera & Hellmuth Hecker.
Lihat: GREAT DISCIPLES OF THE BUDDHA - INTRODUCTION
“… Meski demikian, proses pencapaian yang lebih khusus merupakan sebuah proses yang disesuaikan di mana berbagai belenggu dipotong secara berurutan, dalam beberapa gugusan, pada empat peristiwa penyadaran yang berlainan.
Hal ini menghasilkan gradasi berlapis empat di antara para murid mulia, dengan setiap tahapan utama yang terbagi lagi ke dalam dua fase:
Sebuah fase di dalam jalan (marga), di mana murid yang bersangkutan mempraktikkan pelenyapan gugus belenggu tertentu;
Dan sebuah fase di dalam buah hasilnya (phala), di mana dobrakannya telah sempurna dan belenggu-belenggu telah dihancurkan.
Pembagian ini menjelaskan formula klasik Arya Sangha yang terdiri dari 4 pasangan dan 8 jenis orang yang mulia. …”
Mengenai jalan (marga) dan buah keberhasilan (phala):
[1] Beberapa guru dharma menekankan bahwa Jalur Mulia Beruas 8 bukanlah gerakan maju yang “linear”.
Namun menurut saya hal tersebut sangat masuk akal melihat bahwa “Pandangan Benar” (sammā-diṭṭhi) pasti berada di titik paling awal.
(Sebagai contoh, memahami bahwa “penolakan terhadap karma & kelahiran kembali merupakan “pandangan salah” – di dalam susunan Empat Kebenaran Mulia dan Hukum Sebab-Musabab (Pratityasamutpada). Saya tidak melihat bagaimana orang yang menolak konsep kelahiran kembali & karma bisa berkembang sebagaimana mestinya di sepanjang jalan.)
Dan juga, puncak dari Jalan Mulia Beruas Delapan pastilah “Keheningan Benar” (sammā-samādhi) – yang didefinisikan sebagai 4 rupa-jhana. (sebagai contoh: SN 45.8, MN-117, MN-141), karena jhana adalah kondisi pikiran di mana 5 rintangan yang menghidupi Kebodohan dan Hasrat telah disingkirkan (AN 10.61, 10.62).
Untuk menyingkirkan Kebodohan, jangan beri makan 5-rintangan melalui pencapaian jhana. Antara Pandangan Benar dan Keheningan benar terdapat perkembangan etika, perhatian penuh dan meditasi.
Demikianlah baru terlihat adanya kemajuan linear, dengan Jhana sebagai buah keberhasilan (phala) dari praktik (marga) yang mendahuluinya.
Benarkah pemahaman ini?
~~~~~~~~~~~~~~~~
Hahaha!
Berpikirlah baik-baik sebelum kamu memanifestasikan pikiranmu ke dalam tindakan!
Pelatihan Dharma belum tentu seperti yang kamu pikirkan!
Tentunya, kamu selalu punya PILIHAN – Mau melakukannya atau tidak! :)
Apakah kamu dengan sekuat tenaga masih mencoba untuk “menjatuhkan” wujud ciptaanmu yang kamu labeli sebagai “lotuschef”!
Saatnya sadar!
Bila kamu tidak keluar dari Jalan yang sedang kamu telusuri saat ini, kamu tak akan pernah mendapatkan Buah Pencerahan.
“Kejahatan” dari “manifestasimu” itu sedang kamu beri nyawa kehidupan dengan Iblis ciptaanmu sendiri!
Salam Metta,
Om Guru Lian Sheng Siddhi Hom
Lama Lotuschef
No comments:
Post a Comment