Pages

Friday, March 13, 2015

Ceramah Terobosan, oleh Bodhidharma



Dikutip oleh Lotuschef dari THE ZEN TEACHINGS OF BODHIDHARMA – 11 Februari 2015
Diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Red Pine 1987
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia oleh Lotus Nino
Sumber: 破相論 Breakthrough Sermon



Ceramah yang Menembusi/Menerobos


BILA seseorang memang telah menetapkan hati untuk mencapai pencerahan, lalu metode paling penting apa yang dapat dilatihnya?

Metode yang paling esensial, yang mencakup semua metode lainnya, adalah melihat (mengamati) pikiran sendiri.

Tapi bagaimana caranya satu metode mampu mencakupi semua lainnya?

Pikiran adalah akar dari mana semua hal bertumbuh-kembang, bila kamu mampu memahami pikiran, hal-hal lainnya sudah tercakup di dalamnya.
Ia bagaikan akar sebuah pohon.
Semua buah dan bunga, batang dan daun, bergantung pada akarnya.
Kalau kamu memelihara akarnya, pohon itu akan berkembang menjadi banyak.
Kalau kamu memotong akarnya, ia akan mati.
Mereka yang memahami pikiran akan mencapai pencerahan dengan usaha yang minim.
Mereka yang tak memahami pikiran akan sia-sia melatihnya.
Semua hal yang baik maupun buruk datang dari pikiranmu sendiri.
Mencari sesuatu di luar pikiran adalah hal yang tak mungkin dilakukan.

Tapi bagaimana caranya mengamati pikiran bisa disebut Memahami?

Saat seorang bodhisattva agung turun menyelami hingga sampai kepada kebijaksanaan yang sempurna,
Ia menyadari bahwa empat elemen dan lima bayangan ternyata tak punya jati diri.

Dan ia menyadari bahwa aktivitas pikirannya memiliki dua aspek: suci dan ternoda.

Dengan kodrat mereka sendiri, dua kondisi mental (pikiran) itu selalu ada.

Dengan bergantung pada berbagai macam kondisi, mereka saling bertukar posisi sebagai penyebab ataupun musabab; pikiran yang suci akan menyukai perbuatan baik, pikiran yang ternoda akan memikirkan perbuatan jahat.

Mereka yang tak terpengaruh oleh noda adalah para suciwan.
Mereka telah melampaui penderitaan dan merasakan pengalaman sukacita nirwana.

Sedangkan para insan lainnya, terperangkap oleh pikirannya yang ternoda dan terjerat oleh karma mereka sendiri, adalah orang-orang awam.

Mereka terhanyut dan melintasi tiga alam, serta mengalami berbagai macam penderitaan – semua ini karena pikiran mereka yang ternoda telah mengelabui jati diri mereka yang sesungguhnya.


Sutra Sepuluh Tingkat mengatakan,
“Di dalam tubuh orang-orang awam ada kodrat buddha yang tak dapat dimusnahkan.
Bagaikan matahari, sinarnya memenuhi seluruh angkasa dan konsep ruang,
Namun begitu diselubungi awan-awan gelap lima bayangan,
Ia bagaikan sebuah sinar di dalam guci, yang tersembuyi dari pandangan.”

Dan di dalam Sutra Nirwana dikatakan,
“Semua mahluk awam punya kodrat buddha.
Namun hal tersebut tertutup oleh kegelapan di mana mereka tak bisa meloloskan diri darinya.
Kodrat buddha kita adalah kesadaran:
Untuk menjadi sadar dan membuat mahluk-mahluk lainnya tersadarkan juga.

Demikianlah maka merealisasikan kesadaran merupakan pembebasan,

Semua hal yang baik punya Kesadaran sebagai akarnya.

Dan dari Akar Kesadaran tersebut tumbuhlah pohon segala kemuliaan dan buah nirwana.

Maka mengamati pikiran dengan cara seperti ini dinamakan Pemahaman.


Kamu bilang bahwa kodrat buddha dan semua kemuliaan kita punya Kesadaran sebagai akarnya.
Lalu apa yang menjadi Akar dari Kebodohan?

Pikiran yang bodoh, dengan penderitaan, nafsu, dan kejahatan yang tiada batasnya, semuanya berakar di dalam tiga racun – Keserakahan, Amarah, dan Khayalan.

Kondisi pikiran yang keracunan 3 aspek itu sendiri mencakupi segala kejahatan yang banyaknya tak terhingga, bagaikan pohon dengan satu batang namun ranting dan daunnya banyaknya tak terhingga.

Demikianlah setiap racun akan menghasilkan jutaan kejahatan yang lebih banyak, bahkan analogi sebuah pohon juga kurang cocok untuk dipakai sebagai perbandingan.


Tiga racun tersebut berada di enam organ indera dan bermanifestasi sebagai “enam jenis kesadaran” atau para pencuri.

Mereka disebut sebagai para pencuri karena mereka masuk dan keluar gerbang-gerbang indera, mendamba kepemilikan yang tak terbatas, sambil menutupi identitas asli mereka.

Dan berhubung orang-orang awam tersesatkan di dalam tubuh dan pikiran mereka sendiri oleh ketiga racun atau pencuri tersebut, mereka menjadi terhanyut dalam samudra kehidupan dan kematian, mengembara di enam alam samsara, dan mengalami penderitaan yang tak terhingga.

Semua penderitaan tersebut bagaikan sungai dengan lonjakan gelombang sepanjang seribu mil karena adanya mata-mata air yang kecil namun terus menerus mengalirinya.

Tapi kalau seseorang memotong sumbernya, maka sungai tersebut akan mengering.

Dan bila ia yang mencari pembebasan mampu mengubah 3 racun tersebut menjadi 3 jenis sila dan 6 pencuri menjadi 6 paramita, ia menyingkirkan dirinya dari segala macam penderitaan untuk sekali dan selamanya.


Namun tiga alam dan enam kondisi samsara luasnya tak terbatas.

Bagaimana caranya kita melepaskan diri dari penderitaan yang tiada batasnya kalau yang kita lakukan hanyalah mengamati pikiran?

Karma dari tiga alam berasal dari pikiran saja.

Kalau pikiranmu tak berada di dalam tiga alam, berarti ia telah melampaui mereka.
Tiga alam berkaitan dengan tiga racun – Keserakahan berhubungan dengan Alam Nafsu, Amarah dengan Alam Wujud, dan Khayalan dengan Alam Tanpa Wujud.

Dan karena karma yang diciptakan oleh racun-racun tersebut bisa saja ringan ataupun berat, maka tiga alam tersebut dibagi lebih lanjut menjadi 6 tempat – yang disebut sebagai enam kondisi samsara.


Bagaimana dengan perbedaan karma dari keenam hal tersebut?

Orang-orang awam yang tak paham akan praktik yang benar dan membabi buta melakukan perbuatan baik akan terlahir ke tiga kondisi samsara yang lebih tinggi di dalam tiga alam.


Apa saja tiga kondisi yang lebih tinggi itu?

Mereka yang membabi buta melakukan 10 perbuatan baik dan dengan bodohnya mencari kebahagiaan akan terlahir sebagai para dewa di Alam Nafsu.

Mereka yang membabi buta menjaga lima sila dan dengan bodohnya menikmati cinta dan kebencian akan terlahir sebagai para manusia di Alam Amarah.

Dan mereka yang membabi buta melekat pada dunia fenomena, mempercayai doktrin-doktrin ajaran sesat, dan berdoa untuk memohon berkat akan terlahir sebagai para setan di Alam Khayalan.

Itulah tiga alam samsara yang lebih tinggi.


Lalu bagaimana dengan tiga yang lebih rendah?

Mereka yang gigih bertahan di dalam pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan jahat akan terlahir di sana.

Yang faktor karma Keserakahannya paling berat menjadi setan-setan kelaparan.

Yang faktor karma Amarahnya paling besar akan terlahir dan menderita di neraka.

Yang faktor karma Khayalannya paling berat menjadi binatang.


Tiga kondisi yang lebih rendah, bersama dengan tiga yang lebih tinggi, membentuk 6 alam samsara.

Dari sini seharusnya kamu sadar bahwa semua karma, yang menyakitkan ataupun sebaliknya, berasal dari pikiranmu sendiri.

Kalau saja kamu bisa mengkonsentrasikan pikiranmu dan melampaui kepalsuan dan kejahatan, maka segala penderitaan dari tiga alam dan enam kondisi samsara akan hilang secara otomatis.

Dan begitu kamu terbebas dari penderitaan, kamu sungguh-sungguh bebas.


Namun Sang Buddha mengatakan, “Hanya setelah mengalami kesulitan yang banyaknya tak terhingga selama 3 asankhya kalpa, barulah aku mencapai pencerahan,”
Kenapa sekarang kamu bilang hanya dengan sekedar mengamati pikiran dan mengatasi tiga racun merupakan pembebasan?

Kata-kata Sang Buddha sungguhlah benar.

Namun 3 asankhya kalpa mengacu pada kondisi pikiran yang terkena tiga racun.

Yang kita namakan sebagai Asankhya di dalam Bahasa Sansekerta adalah yang kamu sebut sebagai “tak terhingga”.

Di dalam tiga kondisi pikiran yang keracunan ini ada pikiran jahat yang banyaknya tak terhingga, dan setiap pikiran berlangsung selama satu kalpa.
Lamanya yang tak terhingga adalah yang Sang Buddha maksudkan sebagai tiga asankhya kalpa,
Begitu ketiga racun mengaburkan jati diri sejatimu, bagaimana caranya kamu bisa terbebaskan sampai kamu bisa mengatasi pikiran-pikran jahat mereka yang tak terhingga banyaknya?
Orang-orang yang bisa mengubah ketiga racun – Keserakahan, Amarah, dan Khayalan – menjadi ketiga pembebasan akan dikatakan melewati tiga asankhya kalpa.
Namun orang-orang di akhir jaman ini adalah yang bodohnya luar biasa.
Mereka tak paham yang Tathagata sungguh-sungguh maksudkan dengan tiga asankhya kalpa.
Mereka bilang kalau pencerahan hanya bisa dicapai setelah melalui berkalpa-kalpa yang lamanya tak terhingga, dan dari sana malah menyesatkan para muridnya supaya mundur dari jalan menuju Kebuddhaan.


Tapi para maha bodhisattva telah mencapai pencerahan hanya dengan mengamati 3 macam sila dan melatih 6 paramita,
Dan sekarang kamu memberitahu para murid cukup dengan sekedar mengamati pikiran.
Bagaimana orang-orang bisa mencapai pencerahan tanpa melatih sila?

Tiga macam sila ini adalah untuk mengatasi tiga kondisi pikiran yang teracuni. Saat kamu mengatasi racun-racun tersebut, kamu menciptakan tiga macam kemuliaan yang tak terbatas. Satu macam sila akan mengumpulkan, dalam kasus ini, pikiran baik yang tak terbatas di seluruh jalur pikiranmu.
Dan enam paramita digunakan untuk menyucikan enam indera. Yang kita sebut sebagai paramita adalah yang kamu namakan sebagai Pantai Seberang. Dengan menyucikan enam indera dari debu sensasi (inderawi), paramita akan menyeberangkanmu melintasi Sungai Penderitaan menuju ke Pantai Pencerahan.


Menurut sutra, tiga macam sila adalah, “Aku berjanji untuk mengakhiri segala kejahatan. Aku berjanji untuk melatih segala kemuliaan. Dan aku berjanji untuk membebaskan (menyelamatkan) semua insan.” Namun kamu akan bilang kalau ketiga hal tersebut hanya untuk mengendalikan tiga kondisi pikiran yang teracuni saja.

Bukankah bertolak belakang dengan yang dimaksudkan di dalam kitab suci?

Sutra-sutra para Buddha sungguhlah benar.
Namun jaman dahulu, saat sang bodhisattva agung sedang melatih benih pencerahan, ia membuat tiga sumpah tersebut untuk melawan tiga racun.

Melatih larangan-larangan moralitas untuk melawan racun Keserakahan, ia berjanji untuk mengakhiri semua perbuatan jahat.
Melatih meditasi untuk melawan racun Amarah, ia berjanji untuk melatih segala macam kemuliaan.
Dan melatih kebijaksanaan untuk melawan racun Khayalan, ia berjanji untuk menyelamatkan semua insan.

Karena ia tekun melatih tiga praktik moralitas, meditasi, dan kebijaksanaan tersebut, ia mampu mengatasi ketiga racun dan akhirnya mencapai pencerahan.

Dengan mengatasi ketiga racun, ia menghapus bersih semua hal yang berdosa dan mengakhiri semua perbuatan jahat.
Dengan menjalankan tiga macam sila, semua yang dilakukannya adalah perbuatan baik dan oleh karenanya juga melatih kemuliaan.
Dan dengan mengakhiri kejahatan serta melatih kemuliaan, di sana terdapat kesempurnaan dari segala pelatihan, ia memberikan manfaat bagi dirinya sendiri dan juga para insan lain, serta menolong orang-orang awam di mana pun.
Demikianlah ia menyelamatkan para insan.

Kamu harus sadar bahwa semua sadhana yang kamu latih tak terpisah dari pikiranmu.

Kalau pikiranmu suci, semua tanah buddha juga suci.

Di dalam sutra dikatakan, “Kalau pikiran mereka ternoda, maka para insan juga ternoda.
Kalau pikiran mereka suci, para insan juga suci,”

Dan “Untuk mencapai suatu tanah buddha, sucikanlah pikiranmu.
Begitu pikiranmu menjadi suci, semua tanah buddha menjadi suci.”

Demikianlah dengan mengatasi ketiga kondisi pikiran yang teracuni, ketiga macam sila secara otomatis telah terpenuhi (telah jaga semuanya).


Tapi sutra-sutra mengatakan bahwa enam paramita adalah amal, moralitas, kesabaran, bhakti, meditasi, dan kebijaksanaan.
Menurutmu ini artinya apa?
Dan kenapa mereka disebut sebagai kapal pengangkut?

Melatih paramita berarti menyucikan enam indera dengan mengatasi enam pencuri.

Mengusir pencuri dari mata dengan meninggalkan dunia visual, merupakan Amal.

Mencegah masuknya pencuri dari telinga dengan tak mendengarkan suara, merupakan Moralitas.

Menyadari kekurangan pencuri dari hidung dengan menyetarakan semua bebauan sebagai netral adalah Kesabaran.

Mengendalikan pencuri dari mulut dengan mengalahkan nafsu untuk merasakan, mendapatkan pujian, dan berdalih adalah Bhakti.

Mengalahkan pencuri dari tubuh dengan tak bergeming terhadap berbagai sensasi sentuhan adalah Meditasi.

Dan menjinakkan pencuri dari pikiran dengan tak menyerah kepada khayalan namun melatih kesadaran adalah Kebijaksanaan.

Demikianlah enam paramita merupakan alat transportasi. Bagaikan perahu atau rakit, mereka mengantarkan para insan ke Pantai Seberang.

Dengan penjelasan itulah mereka dinamakan sebagai kapal pengantar.


Namun saat Shakyamuni masih menjadi seorang bodhisattva, ia mengkonsumsi tiga mangkok susu dan enam sendok bubur sebelum mencapai pencerahan.

Kalau beliau harus meminum susu sebelum bisa merasakan buah kebuddhaan, bagaimana caranya hanya dengan mengamati pikiran lantas bisa mencapai pembebasan?

Yang kamu katakan memang benar.

Memang begitulah cara beliau mencapai pencerahan.
Beliau harus meminum susu sebelum mampu menjadi seorang Buddha.

Tapi ada dua jenis susu.

Yang diminum oleh Shakyamuni bukan susu biasa yang tercemar, tapi merupakan ucapan Dharma yang Suci.

Tiga mangkok merupakan tiga macam sila.

Dan enam sendok adalah enam paramita.

Saat Shakyamuni mencapai pencerahan, itu karena beliau meminum susu dharma yang suci – sehingga ia merasakan buah kebuddhaan.

Kalau berkata Sang Tathagata meminum campuran susu sapi duniawi yang berbau, berarti fitnah besar.

Namun yang sebenarnya adalah jati diri Dharma yang tiada nafsu dan tak dapat dihancurkan, selalu bebas dari penderitaan dunia.

Kenapa harus butuh susu yang tak bersih untuk memuaskan kelaparan ataupun kehausannya?

Di dalam sutra dikatakan,
“Lembu ini tak hidup di dataran tinggi ataupun dataran rendah.
Ia tak memakan gandum ataupun sekam.
Dan ia juga tak merumput bersama para sapi.
Tubuh lembu ini berwarna emas mengkilat.”

Lembu ini mengacu pada Vairocana.
Berkat welas asihnya demi semua insan, dari tubuh dharmanya yang suci, ia menghasilkan susu dharma berupa tiga macam sila dan enam paramita yang agung nan luhur untuk memelihara mereka semua yang mencari pembebasan.

Susu murni dari lembu suci semacam ini tak hanya memampukan thatagata untuk mencapai kebuddhaan, namun juga memampukan siapapun yang meminumnya untuk mencapai pencerahan yang sempurna dan tertinggi.


Di dalam berbagai sutra, Sang Buddha memberitahu orang-orang awam bahwa mereka bisa mencapai pencerahan dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berpahala seperti membangun biara, memahat patung (rupang), membakar dupa, menabur bunga, menyalakan pelita abadi, berlatih di enam waktu (pagi dan malam), mengitari (pradaksina) stupa, berpuasa, dan melakukan puja.
Namun bila mengamati pikiran telah meliputi semua praktik lainnya, maka pekerjaan-pekerjaan seperti yang disebutkan tadi akan terkesan mubazir.

Sutra-sutra Buddha berisikan metafora (perumpamaan) yang banyaknya tak terhingga.

Karena orang-orang awam pikirannya sempit dan tak paham hal-hal yang mendalam, maka Sang Buddha menggunakan hal yang terlihat (berwujud) untuk mewakili yang agung dan maha mulia.

Orang-orang yang mencari berkat dengan berkonsentrasi pada pekerjaan eksternal, bukannya yang internal (batin sendiri), sebenarnya sedang mengusahakan hal-hal yang tak mungkin terjadi.

Yang kamu sebut sebagai sebuah biara, kita sebut sebagai Sangharama, suatu tempat yang berisikan kesucian.

Namun siapapun yang menghalangi masuknya tiga racun dan menjaga gerbang-gerbang inderawinya supaya tetap suci, tubuh dan pikirannya tenang, dalam dan luar bersih, ia membangun sebuah biara.



Memahat rupang mengacu pada semua sadhana yang dilatih oleh mereka yang mencari pencerahan.
Wujud agung dan maha mulia Sang Tathagata tak bisa diwakili oleh sekedar logam saja.
Mereka yang mencari pencerahan menganggap tubuh-tubuh mereka sebagai tungku pembakaran, Dharma sebagai api, kebijaksanaan sebagai keahlian, dan tiga macam sila & enam paramita sebagai wadah cetakan.

Mereka melebur dan menghaluskan kodrat buddha di dalam diri mereka sendiri, dan menuangkannya ke dalam wadah cetakan yang dibentuk oleh berbagai aturan sila.

Bertindak dengan totalitas yang sempurna sesuai dengan ajaran Buddha, maka secara alamiah mereka menciptakan kemiripan yang sempurna pula.

Tubuhku yang abadi dan maha mulia tak terpengaruh oleh kondisi ataupun melapuk.
Kalau kamu mencari Kebenaran namun tak belajar cara membuat kemiripan yang sesungguhnya (sempurna), lalu apa gunanya?


Dan membakar dupa bukan berarti dupa material yang biasa, namun ia adalah dupa Dharma yang tak terlihat yang akan mengenyahkan kotoran, kebodohan, dan berbagai perbuatan jahat dengan wewangiannya.

Ada lima jenis dupa Dharma semacam itu.

Yang pertama adalah Dupa Moralitas, yang berarti meninggalkan kejahatan dan melatih kemuliaan.

Yang kedua adalah Dupa Meditasi, yang berarti mengimani Mahayana dengan mendalam dan dengan keyakinan yang tak tergoyahkan.

Yang ketiga adalah Dupa Kebijaksanaan, yang berarti merenungkan tubuh dan pikiran, luar dan dalam.

Yang keempat adalah Dupa Pembebasan, yang berarti memotong ikatan kebodohan.

Dan yang kelima adalah Dupa Pengetahuan yang Sempurna, yang berarti selalu sadar dan tak terhalangi di manapun juga.

Demikianlah lima jenis dupa yang sangat berharga dan jauh melampaui wanginya dupa yang ada di dunia ini.

Saat Sang Buddha sedang berada di dunia, ia memberitahu para muridnya untuk menyalakan dupa mulia tersebut dengan api kesadaran sebagai sebuah persembahan kepada para Buddha di sepuluh penjuru.

Namun orang-orang jaman sekarang tak paham yang sesungguhnya dimaksudkan oleh Sang Tathagata.
Mereka menggunakan api biasa untuk menyalakan dupa cendana atau kemenyan dan berdoa memohon berkat di masa mendatang yang tak pernah datang.


Sama halnya dengan menabur bunga.
Hal ini mengacu pada firman Dharma, menabur bunga kemuliaan, demi memberi manfaat pada para insan lain dan memuliakan jati diri yang sejati.
Bunga-bunga kemuliaan ini adalah yang dipuji oleh Sang Buddha.
Mereka bertahan selamanya dan tak pernah layu.
Dan siapapun yang menebar bunga-bunga semacam ini akan menuai berkat yang tak terhingga.

Kalau kamu pikir Sang Tathagata bermaksud supaya orang-orang merusak tanaman dengan memotong bunga-bunganya, kamu salah.
Mereka yang menjaga sila, tak melukai segala bentuk kehidupan apapun yang jumlahnya tak terhingga di atas bumi dan langit.


Kalau kamu mencelakai sesuatu dengan sengaja, kamu pasti akan menderita karenanya.

Namun mereka yang sengaja melanggar sila dengan melukai mahluk hidup demi mendapatkan berkat di masa mendatang, akan lebih menderita lagi,
Bagaimana caranya mereka membiarkan berkat yang diinginkan berubah menjadi kesedihan?


Pelita abadi melambangkan kesadaran yang sempurna.
Bila terangnya kesadaran dianalogikan dengan terangnya sebuah pelita, mereka yang mencari pembebasan akan melihat tubuh mereka sebagai pelita, pikirannya sebagai sumbunya, dengan tambahan disiplin sila sebagai minyaknya, dan kekuatan kebijaksanaan sebagai apinya.
Dengan menyalakan pelita kesadaran sempurna ini, mereka mengenyahkan segala kegelapan dan khayalan.
Dan dengan meneruskan Dharma ini kepada para insan lain, mereka akan mampu menggunakan satu pelita untuk menyalakan ribuan pelita. Dan oleh karena pelita-pelita ini, maka pelita-pelita lain yang jumlahnya tak terhingga juga akan menyala – mereka menyala selama-lamanya.

Dahulu kala, ada seorang Buddha yang bernama Dipamkara, atau Ia yang Menyalakan Pelita.
Demikianlah arti namanya.
Namun orang-orang bodoh tak paham perumpamaan dari Sang Tathagata.
Tetap saja berkhayal dan melekat pada hal-hal yang nampak/berwujud, mereka menyalakan pelita dengan minyak sayur dan berpikir kalau dengan menerangi bagian dalam sebuah bangunan berarti mereka sedang mengikuti ajarang Sang Buddha.
Betapa bodohnya!

Cahaya yang dipancarkan oleh seorang Buddha dari kerul di antara kedua alis matanya mampu menerangi dunia-dunia yang banyaknya tak terhingga.
Sebuah pelita minyak tak akan mampu. Atau kamu malah berpikir sebaliknya?


Berlatih enam waktu dalam sehari berarti terus-menerus melatih pencerahan di dalam enam indera dan tekun dalam berbagai bentuk kesadaran.
Tak pernah kendur dalam mengendalikan enam indera – adalah yang dimaksud dengan enam periode.


Dan mengenai berjalan mengelilingi stupa (pradaksina), stupa itu adalah tubuh dan pikiranmu.

Saat kesadaranmu mengelilingi tubuh dan pikiranmu tanpa henti, ia dinamakan berjalan mengelilingi sebuah stupa.


Para suciwan jaman dahulu mengikuti jalan ini menuju nirwana.
Namun orang-orang jaman sekarang tak paham artinya.
Bukannya melihat ke dalam batin sendiri, mereka bersikeras melihat yang ada di luaran.
Mereka menggunakan tubuh materi mereka untuk berjalan mengelilingi stupa-stupa material.
Dan mereka melakukannya sepanjang hari sampai kelelahan namun sia-sia belaka dan ternyata juga tak menjadi semakin dekat dengan jati dirinya sendiri.



Juga sama halnya dengan berpuasa.
Akan menjadi tak berguna kalau kamu tak sungguh-sungguh tahu artinya.

Berpuasa berarti menertibkan/mengatur, mengatur tubuh dan pikiranmu sehingga mereka tak bingung ataupun terganggu.

Dan menjalankannya berarti menegakkan, menegakkan aturan-aturan sila sesuai dengan Dharma.


Berpuasa berarti menjaga diri dari enam daya tarik luaran dan tiga racun dari dalam batin, dan berjuang lewat perenungan untuk menyucikan tubuh dan pikiranmu.

Berpuasa juga meliputi lima macam makanan.

Yang pertama adalah Sukacita di dalam Dharma – merupakan sukacita yang datang dari perbuatan yang selaras dengan Dharma.

Kedua adalah Keselarasan di dalam meditasi. Ia adalah keselarasan tubuh dan pikiran yang datang lewat menembusi subjek dan objek.

Ketiga adalah Mengundang – yang berarti mengundang para Buddha dengan mulut dan pikiranmu.

Keempat adalah Resolusi – yang berarti resolusi untuk mengejar kemuliaan baik di saat berjalan, berdiri, duduk, maupun berbaring.

Dan kelima adalah Pembebasan – di mana pikiranmu terbebas dari pencemaran duniawi.

Itulah lima macam makanan di dalam berpuasa.
Kalau seseorang tak memakan lima macam makanan suci tersebut, ia salah kalau berpikir ia sedang berpuasa.

Dan juga, begitu kamu berhenti memakan makanan khayalan, kalau kamu menyentuhnya lagi maka kamu mengakhiri puasamu.
Dan begitu kamu mengakhirinya, maka kamu tak mendapatkan berkat darinya.

Dunia ini penuh dengan orang-orang tersesat yang tak tahu hal ini.
Mereka menikmati tubuh dan pikirannya dalam segala cara yang buruk.
Mereka melepaskan kendali ke dalam nafsu dan tak punya rasa malu.
Dan saat mereka berhenti memakan makanan biasa, mereka menyebutnya berpuasa.
Betapa anehnya!



Sama juga halnya dengan beribadah.
Kamu harus paham artinya dan menyesuaikan dengan kondisi.
Maknanya sendiri meliputi aksi dan non-aksi.
Siapapun yang memahaminya berarti mengikuti Sang Dharma.


Ibadah berarti penghormatan, sedangkan kerendahan hati berarti menghormati jati dirimu yang sesungguhnya dan menyadari berbagai khayalan.


Kalau kamu bisa menghapus berbagai nafsu jahat dan mempunyai pikiran yang baik, bahkan bilapun tak ada yang nampak, itulah beribadah.

Wujud seperti itulah yang merupakan wujud yang sejati.

Sang Bhagawan ingin supaya orang-orang awam menganggap ibadah sebagai ekspresi dari kerendahan hati dan menaklukkan pikiran. Jadi beliau memberitahu mereka supaya bersujud dengan seluruh badan untuk menunjukkan penghormatan mereka, supaya sisi luaran mampu mengekspresikan sisi kebatinan, untuk menyelaraskan esensi dan wujud.

Mereka yang gagal melatih makna dari sisi kebatinannya dan malah berkonsentrasi pada ekspresi luaran tak akan pernah berhenti bergumul dalam kebodohan, kebencian, dan kejahatan sembari meletihkan diri mereka sendiri dengan sia-sia.


Mereka bisa menipu orang-orang dengan sikap mereka, tak punya malu di hadapan para suciwan dan sombong di depan orang-orang awam, namun mereka tak akan mampu melepaskan diri dari Sang Roda, apalagi mendapatkan pahala.


Namun Sutra Wahana Permandian Para Sangha (Bhs. Mandarin: Wenshijing, Jepang: Onshitsukyo) mengatakan,
“Dengan berkontribusi untuk permandian para bhiksu, orang-orang akan menerima berkat yang tak terhingga.”

Hal tersebut mungkin terlihat seperti sebuah contoh praktik luaran untuk mendapatkan pahala.

Tapi apa hubungannya dengan mengamati pikiran?

Di sini, permandian para bhiksu tak mengacu pada mencuci apapun yang berwujud.

Saat Sang Bhagawan membabarkan Sutra Tempat Mandi, beliau menginginkan para muridnya untuk mengingat Dharma Membasuh.

Jadi beliau menggunakan kegiatan sehari-hari untuk menyampaikan makna sesungguhnya, yang mana beliau susun ke dalam penjelasannya mengenai pahala dari 7 macam persembahan.

Dari ketujuh persembahan tersebut, yang pertama adalah air bersih,
Kedua adalah api,
Ketiga adalah sabun,
Keempat adalah Willow Catkins (semacam bunga yang panjang terkulai),
Kelima adalah abu suci,
Keenam adalah urapan,
Dan ketujuh adalah pakaian dalam.

Beliau menggunakan ketujuh hal tersebut untuk melambangkan 7 hal lain yang membersihkan dan meningkatkan kualitas seseorang dengan menghapuskan khayalan dan kotoran pikiran yang teracuni.

Yang pertama dari ketujuh hal tersebut adalah Moralitas, yang menyingkirkan berbagai hal-hal yang berlebihan, sama seperti air yang membasuh kotoran.

Kedua adalah Kebijaksanaan, yang menembusi subjek dan objek, sama seperti api yang memanaskan air.

Ketiga adalah Diskriminasi, yang menyingkirkan praktik-praktik jahat, sama seperti sabun yang membersihkan kotoran.
[Diskriminasi ini adalah kemampuan untuk mengamati dan membedakan dengan bijak].

Keempat adalah Kejujuran, yang menghancurkan khayalan, sama seperti mengunyah tanaman Willow Catkins akan membersihkan nafas.

Kelima adalah Iman yang Benar, yang menghancurkan semua keraguan, sama seperti menggosokkan abu suci ke tubuh untuk mencegah berbagai penyakit.

Keenam adalah Kesabaran, yang mengatasi penentangan dan penghinaan, sama seperti salep urapan yang menghaluskan kulit.

Dan ketujuh adalah Rasa Malu, yang memperbaiki perbuatan jahat, sama seperti pakaian dalam yang menutupi tubuh yang buruk.

Demikianlah ketujuh hal di atas melambangkan makna sesungguhnya dari sutra tersebut.

Saat beliau membabarkan sutra tersebut, Sang Tathagata sedang berbicara kepada para umat Mahayana yang bijaksana, bukan kepada orang-orang yang pikirannya sempit.
Makanya sungguh tak mengherankan melihat orang-orang jaman sekarang yang tak paham.


Rumah/wahana permandian melambangkan tubuh.
Saat kamu menyalakan api kebijaksanaan, kamu menghangatkan air suci berupa sila dan memandikan kodrat buddha sejati di dalam dirimu.
Dengan menjalankan 7 praktik tersebut, kamu menambah kemuliaan dirimu.

Para bhiksu di jaman itu lekas mengerti.
Mereka paham yang Sang Buddha maksudkan.

Mereka mengikuti ajaran beliau, menyempurnakan kemuliaan mereka, dan merasakan buah Kebuddhaan.

Tapi orang-orang jaman sekarang tak mampu memahami hal-hal seperti ini.
Mereka menggunakan air biasa untuk membasuh tubuh fisik dan berpikir kalau mereka sedang mengikuti ajaran di dalam sutra.
Sayangnya mereka salah.

Kodrat buddha kita tak punya bentuk.
Dan debu-debu penderitaan tak punya wujud.


Lalu bagaimana caranya orang-orang menggunakan air biasa untuk membasuh tubuh yang tak berwujud?
Jelas saja tak bisa.

Kapan mereka-mereka ini akan bangun (sadar)?

Untuk membersihkan tubuh seperti itu, kamu harus mengamatinya.

Begitu noda dan kotoran muncul dari nafsu, mereka akan menjadi berlipatganda hingga membungkusmu luar dalam.

Tapi kalau kamu memcoba mencuci tubuhmu, kamu harus menggosoknya sampai hampir hilang sebelum ia menjadi bersih. Harusnya dengan ini kamu sudah paham kalau mencuci sesuatu di luaran sana bukanlah yang Sang Buddha maksudkan.


Di dalam sutra dikatakan bahwa seseorang yang dengan sepenuh hati Mengundang Kehadiran Buddha pasti akan terlahir kembali di Surga Barat (Sukhawati/Dewachen).
Kalau itu adalah pintu untuk menuju Kebuddhaan, lalu kenapa mencari pembebasan dengan mengamati pikiran?


Kalau kamu hendak mengundang Sang Buddha, kamu harus melakukannya dengan benar.
Bila kamu tak paham arti dari mengundang, kamu pasti akan melakukannya dengan salah.
Dan jika kamu melakukannya dengan salah, kamu tak akan kemana-mana.

Buddha berarti Kesadaran, kesadaran tubuh dan pikiran yang mencegah munculnya kejahatan. Dan mengundang berarti selalu ingat dan waspada, selalu ingat aturan-aturan sila dan menjalankannya dengan segala kekuatanmu.
Itulah yang dimaksud dengan Mengundang.


Yang namanya Mengundang adalah dengan menggunakan pikiran, dan tak ada hubungannya dengan bahasa.

Kalau kamu menggunakan perangkap untuk menangkap ikan, begitu kamu berhasil kamu bisa melupakan perangkapnya.
Dan kalau kamu menggunakan bahasa untuk menemukan makna, begitu kamu menemukannya maka kamu bisa melupakan bahasa.

Untuk mengundang nama Buddha, kamu harus memahami Dharma Mengundang.

Kalau hal tersebut tak ada di dalam pikiranmu, maka mulutmu hanyalah sekedar menjapa nama yang kosong dan tak bermakna.


Selama kamu dikacaukan oleh tiga racun atau berbagai pikiran akan dirimu sendiri, maka pikiranmu yang tersesat akan menutupimu dari Sang Buddha dan kamu akan menyia-nyiakan usahamu.

Menjapa dan mengundang itu berbeda jauh; Menjapa dilakukan dengan mulut, sedangkan Mengundang dilakukan dengan pikiran.

Dan karena Mengundang datang dari pikiran, ia dinamakan sebagai Pintu Kesadaran.

Menjapa dipusatkan di mulut dan muncul sebagai suara.
Kalau kamu melekat pada penampilan saat mencari makna, maka kamu tak akan menemukan sesuatupun.

Demikianlah para suciwan di masa lampau melatih introspeksi diri, bukannya ucapan.


Pikiran ini adalah sumber dari segala kemuliaan.
Dan pikiran ini merupakan sang pemimpin dari segala kesaktian,
Sukacita nirwana yang abadi datang dari pikiran yang tenang.
Kelahiran kembali di tiga alam juga datang dari pikiran.
Pikiran merupakan pintu ke segala macam dunia, dan pikiran adalah laut yang menghubungkan ke pantai seberang.
Mereka yang tahu di mana pintunya, tak kuatir akan cara mencapainya.
Mereka yang tahu di mana lautnya, tak kuatir akan cara menyeberanginya.


Namun orang-orang yang kujumpai di jaman sekarang ini sungguhlah dangkal.
Mereka pikir bahwa pahala merupakan sesuatu yang berwujud.
Mereka memboroskan kekayaannya dan menjagal mahluk-mahluk darat dan laut.
Dengan bodohnya menyibukkan diri dengan membangun patung/rupang dan stupa, mereka memberitahu orang-orang untuk menumpuk kayu dan bata,  untuk mengecat ini dengan warna biru dan itu dengan warna hijau.
Mereka membuat tubuh dan pikirannya menjadi tegang, melukai diri mereka sendiri dan menyesatkan orang-orang lain.
Dan mereka tak cukup tahu untuk merasa malu.
Orang-orang sepert ini, mohon tanya, kapan akan tercerahkan?

Mereka melihat sesuatu yang berwujud dan langsung melekat.
Kalau kamu membahas mengenai [tanpa wujud] kepada mereka, mereka akan kelihatan bodoh dan bingung.
Serakah untuk berbagai kerahiman kecil dari dunia ini, mereka masih saja buta akan penderitaan besar yang akan menimpa mereka.
Murid-murid semacam ini meletihkan diri mereka sendiri dengan sia-sia.
Berbalik dari yang benar kepada yang palsu, mereka hanya membahas tentang berkat-berkat di masa mendatang.

Bila saja kamu mampu mengkonsentrasikan Cahaya Batin dari pikiranmu dan mengamati pancaran terang luarannya, kamu akan menghapus tiga racun dan mengusir 6 pencuri untuk sekali dan selamanya.

Dan dengan usaha yang minim kamu akan memiliki kemuliaan, kesempurnaan, berbagai pintu menuju kebenaran yang jumlahnya tak terbatas, mampu menembusi hal-hal duniawi dan menyaksikan keagungan tak sampai dalam sekejap mata. Realisasi adalah saat ini.


Kenapa kuatir dengan rambut yang mulai memutih?

Pintu kebenaran itu tersembunyi dan tak bisa ditunjukkan.

Sampai titik ini, aku hanya membahas mengenai mengamati pikiran saja.



[--- Akhir dari Ceramah Terobosan, oleh Bodhidharma ---]


Om Guru Lian Sheng Siddhi Hom


No comments:

Post a Comment