Pages

Sunday, April 20, 2014

Sepuluh Tahap Perkembangan Pikiran



Dibagikan oleh Lotuschef – 12 April 2014
Diterjemahkan oleh Lotus Nino
Sumber: Ten States in the Development of the Mind 十住心论



Kobo Daishi [Sepuluh Tahap Perkembangan Pikiran]


Mengutip dari: 3.12 Ten States in the Development of the Mind


Di tahun 830, minat Kukai telah berpindah dari yang awalnya berfokus pada kontroversi antara Madhyamaka dan Yogacara yang berhubungan dengan kekosongan atau keberadaan dharma, beserta kritiknya atas pandangan mereka akan bahasa karena tak menyampaikan kebenaran (Dharma), ke arah mengevaluasi doktrin-doktrin Buddhis secara keseluruhan, termasuk ordo-ordo besar Buddhis lainnya.
Perpindahan ini kemungkinan besar berhubungan dengan perselisihan yang terus berlangsung di periode tersebut antara Saicho – pendiri ordo Tendai dengan ordo-ordo Buddhis Nara.
Dalam rangka memberikan skema komprehensif yang mampu menjelaskan kedudukan setiap ajaran agama dan kedudukan agama Buddha esoterik dalam hubungannya dengan doktrin-doktrin agama Buddha lainnya, Kukai mencoba menunjukkan pentingnya agama Buddha menurut versinya.

Di dalam skema tersebut, Kukai bersikeras menggunakan konsep-konsep yang dibahas di atas untuk membedakan agama Buddha esoterik dari eksoterik.
Meski demikian, saat dilihat secara garis besar, Dharma sebagai jalan kebenaran di dalam skema Kukai telah cukup merangkul agama Buddha eksoterik dan ajaran-ajaran lainnya sebagai berbagai macam wujud manifestasinya, dalam tingkat relatif dengan menuruti kondisi atau konteks yang sesuai dan tingkat pencapaian.

Dalam rangka menjelaskan perbedaan tingkat atau kondisi (ju, yang secara literal berarti “hunian” atau “penginapan”) pikiran (jujushin) yang sesuai dengan berbagai macam doktrin ordo-ordo dan sektor keagamaan lainnya, Kukai mengembangkan sebuah skema hirarkis.
Agama Buddha ordo Shingon diposisikan di paling atas karena memberikan sudut pandang dharma yang paling komprehensif.

Banyak orang menganggap sistem yang dibuat oleh Kukai ini sebagai magnum opus (mahakarya)-nya, Himitsu mandara jujushinron (Risalah mengenai Mandala Rahasia dari Sepuluh Kondisi Pikiran) dalam 10 jilid, yang ditulis sekitar tahun 830, lima tahun sebelum beliau wafat.

Karya tersebut ditulis sebagai tanggapan atas perintah dari Kaisar Junna yang meminta setiap aliran Agama Buddha harus mempresentasikan risalah pengenalan atas ajaran-ajarannya.

Saat naskah tersebut terbukti terlalu sulit untuk dicerna Sang Kaisar, Kukai kemudian membuat ringkasan risalah dengan tema yang sama yang lebih mudah dipahami, Hizo hoyaku (Kunci Berharga yang Membuka Harta Karun Rahasia) dalam tiga jilid.

Inti dari kedua karya tersebut adalah klasifikasi dari berbagai doktrin yang masing-masing dievaluasi dengan kritis dari sudut pandang Shingon yang tertinggi dan komprehensif.

Jenis sistem yang mirip untuk mengklasifikasikan doktrin-doktrin adalah p’an-chiao (panjiao) atau chiao-pan (jiaoban) (Bhs. Jepang: kyôsô hanjaku atau kyô-han) yang sudah ada di China dalam tradisi T’ien-t’ai dan Hua-yen.

Sistem pembagian seperti itu terbukti sangat membantu dalam usaha mereka untuk membedakan diri mereka dari, dan pada saat yang bersamaan, menggabungkan doktrin-doktrin yang ada sebelumnya sebagai upaya bijaksana yang relatif benar.

Sutra Teratai juga mengekspresikan ide yang hampir sama, dengan mengatakan bahwa berbagai macam doktrin merupakan upaya kemudahan yang pada akhirnya membawa pada kebenaran yang lebih lengkap (seperti yang diungkapkan di dalam naskah itu sendiri).

Adalah penemuan Kukai sendiri yang mengasosiasikan berbagai macam doktrin yang dievaluasi dan diklasifikasikan dengan kondisi-kondisi pikiran atau tingkat-tingkat pencapaian kebatinan tertentu.

Setiap kondisi di dalam perkembangan pikiran yang akan berhubungan dengan kumpulan doktrin-doktrin tertentu yang sesuai dengan kondisi tersebut, sebagai perspektif dan pengalaman realitas yang dijalaninya, akan menjadi nyata sampai tingkat tertentu dalam lingkupnya sendiri yang terbatas namun belum merupakan kebenaran sepenuhnya hingga tingkat terakhir telah dicapai.

Dalam kata lain, untuk naik ke hirarki pikiran yang lebih tinggi, adalah untuk mengalami terbukanya kelopak-kelopak Dharma karena orang yang bersangkutan menjadi tersadarkan lebih dalam hingga ia sepenuhnya menyadari pencerahannya sendiri dalam non-dualitas dengan Dharma itu sendiri, yaitu pencapaian Kebuddhaan.


Dilihat dari sudut pandang mandala, terbukanya kelopak Dharma ini juga merupakan indikasi evolusi orang yang bersangkutan dari lingkar terluar menuju ke pusat mandala alam semesta.

Namun berhubung tiap tingkat pikiran merupakan sebuah “hunian” bagi pikiran itu sendiri, hirarki dari “tingkat” terendah hingga tertinggi akan terlihat sekuensial (berurutan) dari dimensi eksoterik.

Sebenarnya pengurutan semacam itu tidaklah perlu bila dilihat dari sudut pandang esoterik atau holistik.
Atau dalam kata lain, ada kemungkinan untuk langsung melompat dari kondisi atau “tempat kediaman” mana saja ke alam yang paling komprehensif.


Berbagai ajaran yang dievaluasi di sini tak hanya mencakup berbagai aliran agama Buddha saja, tapi juga meliputi variasi agama Brahma, Hindu, praktik-praktik keagamaan India, serta doktrin-doktrin non-Buddhis Tiongkok.

Dan dari lingkup ajaran-ajaran Buddha meliputi doktrin-doktrin utama dari India dan Tiongkok yang masuk ke Jepang: Ritsu (Bhs. China: Lu-tsung, yang mempelajari Vinaya), Kusha (berbasiskan Abhidharma), Jojitsu (Bhs. Sansekerta: Satyasiddhi, berbasiskan Sautrantika), Hosso (Bhs. Sansekerta: Yogacara, China: Fa-hsiang), Sanron (Bhs. China: San-lun, yang berbasiskan Madhyamaka India), Tendai (Bhs. China: T’ien-t’ai), Kegon (Bhs. China: Hua-yen), dan Shingon.

Sistem klasifikasi dari Kukai ini bisa diringkas menjadi singkat dalam skema berikut:


Tahap ke-1 hingga ke-3 – Tahapan pra-buddhis: “wahana” awam dari jerat samsara.

Tahap 1 – “Pikiran seekor kambing yang dengan bodohnya bertransmigrasi di dalam enam nasib (atau alam)” (ishô teiyô-shin):
Kondisi nafsu yang digerakkan oleh insting binatang tanpa batasan moral; kondisi yang juga menaungi orang-orang awam, mahluk di neraka, setan lapar, binatang, asura (“raksasa”), dan berbagai dewa atau mahluk surgawi yang terjerat di dalam takdir samsara mereka.

Tahap 2 – “Pikiran seorang anak yang dipoles tapi membabi buta terobsesi oleh berbagai aturan moralitas” (gudô jisai-shin):
Kondisi dimana berbagai tindakan etis dan mulia membawa keteraturan sosial namun tanpa tujuan “religius”; Konfusianisme dan sila-sila Buddhis (ritsu) untuk orang awam berada di tahap ini.

Tahap 3 – “Pikiran seorang anak yang tenang dan tak takut apapun” (yodô mui-shin):
Kondisi yang melakukan pemujaan dewata dan praktik religi-magis ekstrinsik (dari sumber luar) demi mengatasi kecemasan dengan berpikir untuk mendapatkan kemampuan supranatural atau keabadian, atau mencapai surga yang kekal dan penuh kebahagiaan; Taoisme dan berbagai bentuk agama Hindu dan Brahma berada di tahap ini.


Tahap ke-4 hingga ke-10 – Tahapan Buddhis (tahap ke-4 hingga ke-9 adalah agama Buddha eksoterik, dan ke-10 adalah esoterik):

Tahap 4 hingga 5 – Tahapan Hinayana: “wahana” bagi mereka yang bercita-cita mendapatkan pencerahan diri tanpa menghiraukan pencerahan insan-insan lainnnya.

Tahap 4 – “Pikiran seseorang yang hanya mengakui zat/komposisi dan menyangkal diri” (yuiun muga-shin):
Kondisi sravaka yang menganalisa fenomena menjadi berbagai “agregat” (skandha) dan/atau komposisi (Dharma) psiko-fisik, untuk kemudian menyangkal segala macam kepercayaan atas keberadaan sebuah ego yang permanen (atman); ajaran-ajaran Buddha historis dan murid-murid terdekatnya beserta dengan pendidikan Abhidharma berada di tahap ini. Meski kekukuhan realitas bisa dipecah menjadi zat-zat dharmanya, dharma-dharma itu sendiri akan menjadi belenggu, sehingga akan membutuhkan tiga kehidupan hingga 60 eon untuk mencapai pembebasan.

Tahap 5 – “Pikiran yang terbebaskan dari benih-benih karma” (batsu gôinju-shin):
Kondisi pratyeka-buddha yang tiada bertuan serta memahami wawasan Hukum Sebab-Musabab yang saling bergantungan (Pratityasamudpada) yang memampukannya untuk mengenali ketidakkekalan, tanpa ego, dan semua hal di mana pada dasarnya tak punya substansi, oleh karenanya mampu mencegah supaya karma tak tercipta. Namun saat menikmati tingkat “pencerahan” tertentu, ia terjatuh kembali pada “egoisme” kepuasan diri sendiri, apatis tanpa welas asih terhadap sesamanya, dan pandangan sempit akan keduniawian lain. Di sinilah ia belum mampu mencapai pencerahan yang sepenuhnya. Aliran Sautrantika masuk dalam tahap ini.

Tahap ke-6 hingga ke-9 – Tahapan Mahayana: Wahana para bodhisattva – mereka yang mencari pencerahan demi dirinya sendiri dan para insan lain juga, dengan mengatasi dualisme atas diri-dan-insan lain, serta mengenai kesalingbergantungan antara pencerahan diri sendiri dan pencerahan insan lain, dan antara kebijaksanaan dan kewelasasihan.

Tahap 6 – “Pikiran penganut Mahayana yang prihatin atas nasib insan lain” (taen daijô-shin):
Kondisi Yogacara dengan perspektif Vijnapti-matrata nya (Bhs. Jepang: yuishiki) yang mengatakan bahwa semua hal hanyalah “pikiran saja”, dicapai lewat menganalisa semua hal-kejadian sebagai fenomena kesadaran yang berasal dari “gudang” yang tak sadar atau “wadah kesadaran” (alaya-vijnana). Intinya adalah untuk melepaskan diri dari proses objektifikasi (pembendaan) diskriminatif terhadap berbagai macam fenomena sehingga mampu merealisasi ketenangan “pikiran saja” dari perspektif yang tidak mendiskriminasikan, yang akan memampukan praktik “maha welas asih.” Tahap ini masih membutuhkan praktik selama beberapa eon untuk mencapai dan bukan merupakan kondisi terakhir.

Tahap 7 – “Pikiran seseorang yang merealisasi tiada mula” (kakushin fushô-shin):
Kondisi Madhyamaka dengan perspektif sunyavada-nya (Bhs. Jepang: kugan) bahwa semua hal adalah kosong adanya. Di sini menganggap sesuatu yang abstrak, termasuk konsepsi, sebagai hal yang konkrit – baik objek dan pikiran – yang menjadi belenggu ini dihapus lewat delapan penyangkalan dari Nagarjuna, yang lewat Pratityasamudpada mereka bisa menunjukkan kekosongan mereka sendiri.

Tahap 8 – “Pikiran seseorang yang merealisasikan keselarasan dengan satu jalan kebenaran” (nyojitsu ichidô-shin atau ichidô muishin):
Kondisi T’ien-t’ai dengan perspektifnya akan “kemanunggalan semua hal”, di mana si praktisi merealisasi bahwa sebuah momen memuat keabadian, sebuah pikiran memuat semua dunia yang mungkin ada, dan sebutir biji wijen memuat sebuah gunung, yang berarti non-dualitas antara satu dan banyak; dan antara kekosongan, pratityasamudpada, dan “di tengah antara mereka.”

Tahap 9 – “Pikiran seseorang yang merealisasikaan ketiadaan substansi di dalam kebenaran tertinggi” (goku mujishô-shin):
Kondisi Hua-yen dengan perspektifnya akan ketiadaan halangan dan interpenetrasi mutual di antara keberadaan pola-pola (Bhs. China: li, Jepang: ri) semua hal dan perihal-peristiwa yang konkrit (Bhs. China: shih, Jepang: ji)  berbasiskan pada kekosongan mereka, di mana tunggal maupun jamak bersifat non-dual. Non-dualitas semacam ini diperluas hingga ke semua hamparan dharmadhatu.

Tahap 10 – Bagi Kukai, baik Tendai maupun Kegon masih kekurangan elemen penting mengenai pemahaman akan pengalaman langsung untuk bisa benar-benar merealisasi apa yang mereka ajarkan.

Si praktisi harus melaju lebih lanjut dengan sadhana ritual jasmaniah yang disediakan oleh kondisi selanjutnya dan terakhir – Mantrayana: “Pikiran Kemuliaan yang Penuh Misteri” (himitsu shôgon-shin).

Inilah kondisi Shingon, di mana ajaran-ajaran esoterik dan praktik pengalaman jasmaniahnya merupakan komposisi yang mengantar ke puncak perkembangan pikiran.

Di puncak tersebut, hosshin seppô akan terungkap dan si praktisi mencapai sokushinjôbutsu melalui hubungan timbal balik mikro-makro kosmos dari 3 misteri dan melalui kaji.


Dengan tak menolak atau menyangkal kondisi-kondisi sebelumnya, kondisi final ini memenuhi dan mencakupi semua perspektif dari apa yang diklaim sebagai perspektif yang paling komprehensif, dalam sudut pandang – atau lebih tepatnya dalam non-dualitasnya dengan – Dharma.

Mengingat Dharma itu sendiri, berbagai kebenaran yang diajarkan di semua kondisi sebelumnya hanyalah bersifat relatif dan sementara. Mereka hanyalah merupakan upaya kemudahan yang bersifat membantu karena bisa menolong mengantar si praktisi menuju ke kebenaran final ini, namun bisa juga menjadi belenggu bila ia malah melekat kepada mereka.


Setiap kondisi disebut sebagai “istana” (kyû atau gû), yang semuanya bergabung menjadi sebuah istana semesta yang agung (hokkaigû atau hokkai shinden).

Istana agung ini berisikan seluruh alam semesta sebagai sebuah mandala, dengan kondisi ke-10 atau  yang tertinggi – istana rahasia yang terdalam dari Dainichi, berada di pusat dan puncaknya dari mana Dharma timbul menjadi berbagai wujud di kondisi-kondisi yang lebih rendah, istana-istana luar.


Semakin dekat si praktisi ke pusat, maka akan semakin kuat dia merasakan tarikan kaji ke arah puncak di tengah. Namun seperti yang dituliskan di atas, pengurutan hirarki tidaklah sedemikan perlu saat semuanya dilihat dari perspektif yang paling komprehensif ini.

Karena istana semesta nan agung menembusi dan mencakupi semua istana lainnya atau semua tempat berdiamnya pikiran.
Demikianlah si praktisi mampu membuat loncatan seketika dari titik mana saja di mandala alam semesta ini ke titik pusat dengan keberhasilan melatih sadhana esoterik agama Buddha aliran Shingon.

Struktur mandala inilah yang dimaksud dalam istilah mandala pada judul karya tulis dengan versi yang lebih panjang – Risalah Mandala Rahasia dari Sepuluh Kondisi Pikiran.

Ia mengacu pada cetak biru perwujudan alam semesta dari Dharma (hosshin), yang selanjutnya membentuk praktik ritual sesuai dengan pengaturannya dan bagaimana si praktisi mengalami Dharma sesuai dengan hal tersebut juga.

---

Teman-temanku sekalian yang terkasih,

Membaca tulisan di atas, aku yakin kalau mereka yang telah dan masih mendengarkan ajaran Dharma dari Guru dengan penuh perhatian, akan menyadari bahwa mereka telah berkali-kali dibagikan dalam tulisan dan ceramah Guru. :)

Kini kamu bisa membaca lagi artikel-artikel Guru yang menjelaskan tentang Sepuluh Tahap Perkembangan Pikiran atau Thesis Mengenai Sepuluh Kediaman Pikiran.
Bisa ditemukan di Buku ke-1 Pencapaian Tubuh Sinar Pelangi, dari halaman 218 – 253.

Ada Sepuluh Kediaman Dharma dari Sutra Avatamsaka juga yang aku telah bagikan di blog ini.

Selamat menikmati!!!


Om Guru Lian Sheng Siddhi Hom
Lama Lotuschef



Related Posts:


No comments:

Post a Comment