Pages

Monday, May 21, 2012

Lima Macam Mata – [3] Mata Kebijaksanaan

Ditulis dan disadur oleh Lotuschef – 2 Mei 2012
Diterjemahkan oleh Lotus Nino
Sumber: Five Eyes - Wisdom Eye

Dari pranala: The Five Eyes


Mata Kebijaksanaan


Sekarang sampai pada Mata Kebijaksanaan.

Untuk menjelaskan mengenai Mata Kebijaksanaan, kita perlu memperkenalkan konsep yang sangat mendasar dan penting di dalam agama Buddha – dalam Bahasa Sansekerta ia dinamakan ‘Shunyata’ dan bisa diterjemahkan menjadi ‘kekosongan’. Shunyata adalah sebuah ajaran unik yang tak ditemukan di dalam agama-agama lain.

Banyak naskah di dalam agama Buddha yang berfokus pada pembelajaran mengenai kekosongan. Yang dapat saya bagikan kepada Anda sekalian hari ini hanyalah bagaikan setetes air dari lautan yang luas, tapi saya akan coba sebaik mungkin.  Saya akan memperkenalkan tiga modus analitis dalam berpikir, yang sering dijelaskan oleh Sang Buddha dalam banyak kesempatan, yang menuntun kepada pemahaman akan Shunyata:



  1. Metode analitis untuk kehancuran (disintegrasi).

    Di sini saya gunakan radio sebagai contoh. Bayangkan saya punya sebuah radio di sini. Kalau saya keluarkan (lepaskan) speaker-nya, apakah loud-speaker-nya bisa disebut sebagai radio? Tentunya tidak. Anda akan tetap menyebutnya sebagai loud-speaker. Apakah transistor juga disebut sebagai radio? Bukan juga, tetap saja itu disebut transistor. Lalu bagaimana dengan kondensator, resistor, casis plastik, kawat, dll.? Mereka masing-masing tidak bisa disebut sebagai radio. Kini perhatikan baik-baik – saat semua bagian itu terpisah, bisakah Anda memberitahu saya yang mana yang disebut radio? Tidak ada radio di sana. Jadi, ‘radio’ hanyalah sebuah nama yang diberikan kepada sekelompok bagian yang digabungkan untuk sementara waktu saja. Saat dibongkar, radio tersebut kehilangan keberadaannya. Radio bukanlah entitas permanen. Oleh karenanya sifat sejati dari radio adalah kekosongan.Namun bukan hanya radio saja yang merupakan kekosongan; loud-speaker juga. Kalau saya lepaskan magnetnya dari loud-speaker tersebut, apa masih disebut sebagai loud-speaker? Tentunya tidak, Anda akan menyebutnya sebagai sebuah magnet. Kalau bingkainya saya lepaskan, apakah Anda masih menyebutnya sebagai loud-speaker? Bukan lagi, Anda akan menyebutnya sebagai bingkai. Saat semua bagian diambil (dipisahkan), lalu mana yang disebut sebagai loud-speaker? Jadi saat kita membongkar loud-speaker, ia akan kehilangan keberadaannya. Loud-speaker bukanlah entitas permanen, dan pada kenyataannya, loud-speaker adalah kekosongan.Sekarang, metode analisis untuk disintegrasi ini bisa diaplikasikan untuk semua hal di dunia, dan akan mengarah ke kesimpulan yang sama: Semua hal bisa hancur; oleh karenanya tidak ada satu hal pun yang merupakan entitas permanen. Jadi, benda apapun yang kita beri nama, ia, pada kenyataannya, adalah kekosongan.

    Buddha menggunakan metode disintegrasi terhadap dirinya sendiri. Dalam imajinasi-Nya, Beliau melepaskan kepala-Nya dari tubuhnya dan bertanya apakah kepala tersebut masih disebut tubuh manusia atau diri. Jawabannya adalah tidak. Itu adalah sebuah kepala. Lalu Beliau melepas tangan-Nya dari tubuh-Nya. Apakah bagian itu masih disebut sebagai tubuh manusia atau diri? Lagi-lagi jawabannya adalah tidak. Itu adalah sebuah tangan. Beliau kemudian melepaskan jantung dan bertanya apakah itu masih merupakan tubuh manusia atau diri. Jawabannya masih saja tidak, dan kita mulai memahami dengan lebih baik karena sekarang jantung bisa dilepaskan dari sebuah tubuh dan ditransplantasikan ke tubuh lain tanpa mengubah seseorang menjadi orang lain.

    Buddha melepaskan bagian-bagian tubuh-Nya satu demi satu dan menemukan bahwa tidak satupun dari bagian itu yang dapat disebut sebagai tubuh manusia atau diri. Akhirnya, setelah semua bagian dilepaskan, di manakah yang disebut diri? Oleh karenanya, Buddha menyimpulkan bahwa tubuh fisik ini tidak hanya merupakan kekosongan saja, tapi konsep dasar dari ‘diri’ itu sendiri juga adalah kekosongan.

  2. Metode analitis untuk penggabungan (integrasi).

    Meski kita melihat ratusan dari ribuan dari berbagai macam hal di dunia, manusia mampu menggabungkannya ke dalam beberapa elemen dasar. Contohnya, berdasarkan karakteristik-karakterisik kimiawi, manusia telah mengklasifikasikan emas sebagai elemen dasar. Kita bisa menamai ribuan artikel mulai dari patung emas yang rumit bentuknya hingga sebuah emas batangan yang sederhana, tapi semua itu bisa dilebur dan dicetak ulang menjadi berbagai bentuk lain. Mereka bisa dirubah dan tidak permanen (menetap). Hal-hal yang tidak berubah adalah karakteristik kimia dasarnya, yang mana kita menyebutnya sebagai ‘emas.’ Dalam kata lain, semua artikel tersebut digabungkan dalam kategori elemen yang kita namakan sebagai ‘emas.’Pada jaman Sang Buddha, para filsuf India menggabungkan berbagai macam hal ke dalam empat elemen dasar, mereka adalah: padat, cair, gas, dan panas. Buddha melaju lebih jauh lagi dan menyatakan bahwa empat elemen tersebut dapat digabungkan menjadi kekosongan. Dengan melanjutkan contoh mengenai emas di atas, pernyataan Budha berarti bahwa kita juga dapat menanyakan keberadaan emas sebagai entitas permanen, meski kita telah mengenalinya sebagai karakteristik dasar dari berbagai macam artikel emas. Bagaimanapun yang kita tampilkan, tetap saja merupakan bentuk spesifik dari emas, seperti emas batangan yang pada dasarnya dapat berubah dan tidak permanen. Oleh karenanya, emas hanyalah sebuah nama yang diberikan untuk karakteristik tertentu. Emas itu sendiri adalah kekosongan.Dengan asas pemikiran yang sama, Buddha menyimpulkan bahwa semua benda padat adalah kekosongan. Bukan yang padat saja, tapi yang cair juga merupakan kekosongan karena karakteristik dari keadaan cair adalah tidak berbentuk, tidak bisa digenggam, dan kosong dari keberadaannya yang bebas. Begitulah, 2500 tahun yang lalu, Buddha menyimpulkan bahwa semua hal di alam semesta dapat digabungkan ke dalam kekosongan.

    Adalah hal yang sungguh menarik untuk diperhatikan di mana para ilmuwan barat juga telah sampai pada kesimpulan yang mendekati. Sebelum Albert Einstein menemukan teori relativitas, para ilmuwan menggabungkan semua hal di alam semesta ini ke dalam dua elemen utama: materi dan energi. Einstein menggabungkan kedua elemen tersebut dan membuktikan secara matematis bahwa materi adalah sebuah bentuk energi. Dengan demikian, dia menyimpulkan bahwa semua hal di dalam alam semesta ini hanyalah berbagai bentuk rupa dari energi.

    Tapi apa itu bentuk asal mula dari energi? Meski saya tidak berusaha untuk menegaskan bahwa energi sama dengan kekosongan, tapi setidaknya saya ingin mengatakan bahwa energi juga tidak mempunyai bentuk, tidak bisa digenggam, dan dapat disamakan dengan kekosongan.

  3. Metode analitis untuk penembusan (penetrasi).

    Buddha menjalankan metode ini melalui meditasi. Meditasi itu sendiri akan cukup sulit bagi kebanyakan orang, tapi untungnya teknologi sains masa kini membantu kita lewat beberapa analogi tertentu yang bisa cukup menjelaskan mengenai metode ini. Mari kita kembali ke bagian spektrum elektromagnetik. Kita tahu bahwa mata telanjang kita hanya dapat melihat sebagian kecil dari alam semesta yang bisa terlihat oleh mata kita saja, tapi dengan bantuan beberapa alat, seperti perangkat infra merah, sinar X, mikroskop, dll., manusia jaman sekarang bisa melihat alam-alam lain di dalam alam semesta ini. Saya tunjukkan bagan lainnya (Bagan II) supaya Anda bisa lebih paham.Jangan sampai salah memahami bagan di atas bahwa berbagai gambar dan ruang kosong di atas terdiri atas entitas yang berbeda. Mereka sebenarnya adalah orang yang sama. Juga jangan salah menganggap bahwa gambar-gambar tersebut (dari kiri ke kanan) berada di ruang yang berbeda. Mereka berada di tempat yang sama. Supaya lebih jelas, anggap saja saya adalah orang yang berada di bagan tersebut.

    [caption id="attachment_5633" align="aligncenter" width="489" caption="Bagan II: Orang yang sama dilihat lewat berbagai spektrum elektromagnetik."][/caption]

    Kini bayangkan bahwa mata Anda bisa mendeteksi sinar infra merah. Yang Anda lihat berdiri di depan Anda adalah gambar berwarna merah, kuning, dan hijau. Kini kembali ke alat yang Anda gunakan sehari-hari di mana Anda melihat bentuk eksternal saya dengan mata telanjang. Lalu bayangkan mata Anda dapat melihat dengan sinar X. Kulit, daging, dan darah akan menghilang, dan yang Anda lihat sekarang adalah struktur tulang dari tubuh saya. Berganti lagi ke instrumen  lain – mata mikroskopik, orang yang berdiri di depan Anda adalah struktur rantai molekul yang rumit. Sekarang ditembusi lebih dalam lagi. Ilmu sains masa kini mengajarkan kita bahwa molekul terdiri dari atom-atom, dan atom terdiri dari partikel, dan akhirnya semua massa dapat dikonversikan menjadi energi – yang sifat aslinya adalah sesuatu yang tidak bisa kita lihat atau pegang. Kita sebut saja sebagai bentuk yang tidak mempunyai bentuk, yang diwakili lewat ruang hampa dengan nomor 5 pada bagan di atas.

    Perhatian Anda akan tertuju pada sebuah kenyataan bahwa saya adalah orang yang sama dalam pengertian umum, tapi saya bisa terlihat kepada Anda dalam berbagai macam bentuk: gambar yang berwarna-warni, tubuh berdaging, struktur tulang, kumpulan molekul, dan banyak bentuk yang berhubungan dengan berbagai alam atau instrumen, dan pada akhirnya adalah bentuk yang tidak punya bentuk.

    Metode yang ke-tiga ini – metode analitis penetrasi, sekali lagi membawa kita pada kesimpulan yang sama bahwa semua hal di dalam alam semesta ini dapat ditembus hingga ke dasarnya, yang oleh para ilmuwan disebut sebagai energi, dan oleh Buddha disebut sebagai kekosongan.



Kini harap perhatikan hal yang sangat penting: Yang saya bahas selama ini benar-benar dari segi intelektual saja. Tapi kekosongan adalah sebuah kondisi yang didapatkan dari pengalaman langsung. Dikatakan bahwa saat seseorang mencapai suatu kondisi di mana ia mengalami kenikmatan tertinggi (mahasukha), pengalaman tersebut rasanya ratusan kali lipat lebih kuat dari kenikmatan lain yang bisa dialami oleh orang awam. Dan lagi, kekosongan menjadi sebuah kondisi di mana ia bisa melampaui sensasi perubahan dan ketidakkekalan.

Selangkah lebih maju lagi, seperti yang Anda mungkin ketahui, penyadaran atas penderitaan manusia adalah penyebab langsung yang membawa calon Buddha, Pangeran Siddharta, untuk meninggalkan istananya dan menjadi seorang pertapa dalam perjalanannya mencari cara untuk mencapai pembebasan umat manusia (dari penderitaan). Buddha menyebutkan ada delapan macam penderitaan manusia, yang di dalam Bahasa Sansekerta disebut sebagai ‘duhkha,’ yang sebenarnya punya penjelasan lebih luas dari sekedar kata ‘penderitaan.’ Mereka adalah: kelahiran, masa tua, sakit, kematian, kehilangan orang dikasihi dan kondisi menyenangkan, berhubungan dengan orang dan kondisi yang tidak menyenangkan, gagal mendapatkan sesuatu yang diinginkan, dan ketidakkekalan. Saya tidak punya waktu untuk menjelaskan dengan mendetil mengenai delapan poin ini, tapi kalau Anda menganalisanya dengan mendetil maka Anda akan sampai pada kesimpulan bahwa kedelapan penderitaan itu berhubungan dengan, atau berasal dari, tubuh fisik dan kesadaran yang kita sebut sebagai ‘diri.’ Kedua hal tersebut adalah dasar dari mana penderitaan manusia berasal.

Kini saat tubuh fisik dan kesadaran diri tidak ada lagi pada saat kekosongan telah tercapai, apa mungkin penderitaan masih bisa muncul? Saat tingkatan itu telah tercapai, semua hal di dalam alam semesta, termasuk diri sendiri, dilihat sebagai kekosongan. Semua penderitaan manusia akan menghilang, dan ia dikatakan telah memiliki Mata Kebijaksanaan.

Ini bagaikan rasa lega yang tiba-tiba muncul setelah terlepas dari beban yang berat. Seperti pertemuan yang tak terduga antara ibu dengan anaknya yang telah hilang bertahun-tahun. Seperti menemukan daratan saat sudah putus asa berlayar di laut yang penuh badai. Itulah beberapa gambaran mengenai betapa menyenangkannya saat Mata Kebijaksanaan telah didapatkan.

Banyak murid Sang Buddha yang telah mencapai tingkatan ini. Merekalah yang disebut sebagai Arahat. Meski mereka adalah para suciwan, Buddha masih mengeluarkan peringatan yang tegas kepada mereka: “Jangan berhenti saat telah mendapatkan Mata Kebijaksanaan.” Buddha menjelaskan bahwa dengan Mata Fisik atau Mata Dewa kita melihat dunia yang sebenarnya tidak lengkap, penuh perubahan, dan tidak nyata sebagai (yang dianggap) lengkap, kekal, dan nyata. Karena itulah kita menjadi melekat kepada dunia ini dan dengannya kita menjadi menderita. Ini adalah salah satu ekstrim.

Namun dengan Mata Kebijaksanaan kita melihat semuanya di dalam alam semesta sebagai tidak kekal, tidak nyata, dan kosong, dan menjadi senang untuk tinggal di dalam kondisi kekosongan. Dengan ini menjadi melekat dengan kekosongan, dan juga merupakan ekstrim di arah yang berlawanan.

Saat ada kemelekatan, baik kepada bentuk ataupun kepada kekosongan, kesadaran diri, yang merupakan akar dari semua kebodohan dan penderitaan tidak akan dapat dihilangkan sepenuhnya. Maka, ajaran tertinggi dari Buddha, adalah untuk mendapatkan Mata Dharma.



[Bersambung]



Amituofo
Pure Karma
Lama Lotuschef
True Buddha School

No comments:

Post a Comment