Pages

Wednesday, March 7, 2012

Yoga Mimpi (Introduksi)

Diterjemahkan oleh Lotus Nino
Sumber:



Yoga Mimpi atau Milam[1] (Bhs. Tibet: rmi-lam atau nyilam; Bhs. Sansekerta: svapnadarśana)[2] – Yoga Dalam Kondisi Bermimpi adalah sekumpulan sadhana tantra tingkat lanjut dari silsilah Dzogchen Mantrayana yang saling berhubungan (Nyingmapa, Ngagpa, Mahasiddha, Kagyu dan Bönpo). Yoga Mimpi adalah sebuah proses dan teknik tantra dalam kondisi trans Bardo Mimpi dan Tidur (Bhs. Tibet: mi-lam bardo) dan merupakan sadhana tingkat lanjut dalam Yoga Nidra. Berbagai aspek dalam sadhana Yoga Mimpi masuk dalam golongan sadhana Enam Yoga Naropa.

Catatan kaki untuk ‘Zhitro’ (Bhs. Tibet: zhi khro) Namdan & Dixey, dkk. (2002: hal.124) menunjukkan bahwa ‘tubuh mimpi’ dan ‘tubuh bardo’ merupakan ‘tubuh bayangan/penampakan’ (Bhs. Tibet: yid lus):
Di dalam alam bardo, seseorang memiliki… yilu (yid lus), tubuh bayangan (yid: kesadaran; lus: tubuh). Ia sama halnya dengan tubuh yang berada di dalam berbagai mimpi, merupakan tubuh pikiran.”[3]

Concentration on the Tibetan letter "A"




Tradisi, transmisi dan silsilah Yoga Mimpi

Shugchang, dkk. (2000: hal.17) menggarisbawahi pentingnya mimpi dan yoga mimpi dalam hubungannya dengan maya dan gyulu, yang merupakan tradisi agama buddha yang berasal dari Buddha Shakyamuni:
Buddha Shakyamuni sering memberitahu para murid-Nya untuk menganggap semua fenomena sebagai mimpi belaka. Beliau menggunakan berbagai macam contoh, bagaikan sebuah gema, sebuah kota di atas awan, atau sebuah pelangi untuk menggambarkan sifat ilusi dari dunia fenomenal. Mimpi merupakan salah satu bentuk ilusi. Seluruh alam semesta ini timbul dan tenggelam bagaikan fatamorgana. Semua hal mengenai diri kita, bahkan hingga ke berbagai kualitas yang sangat tercerahkan, juga bagaikan fenomena mimpi saja. Tidak ada hal yang tidak berada dalam cakupan dari semua mahluk ilusi; jadi saat akan tidur, kamu hanya akan melewati satu kondisi mimpi ke kondisi mimpi lainnya.[4]

Padmasambhava (sekitar abad ke-8) menerima transimisi yang berasal dari aliran pikirian seorang siddha-yogi yang misterius, bernama Lawapa (sekitar abad ke-10). Beliau kemudian menyusunnya menjadi Yoga Kondisi Mimpi.[5]

Dharmakaya Adi Buddha Vajradhara


Silsilah Kagyu


Di dalam Silsilah ‘Empat Duta Besar dari Kagyu’ (Bhs. Tibet: Ka-bab-shi-gyu-pa), aliran sisilah Yoga Mimpi berasal dari Dharmakaya Buddha Vajradhara. Dharmakaya, yang sama artinya dengan Buddha Vajradhara, merupakan sumber dari semua manifestasi pencerahan. Dari Caryapa, Tilopa (988 – 1068 M) yang berasal dari silsilah Kham Dzogchen, “menerima instruksi oral mengenai Yoga Mimpi menurut metode Mahamaya-tantra.”[6][7] Dari Nagarjuna (sekitar 150 – 250 M), Tilopa menerima ajaran Sinar Cemerlang (Bhs. Sansekerta: prabhasvara) dan Tubuh Ilusi (Bhs. Sansekerta: maya deha). Sadhana Tubuh Ilusi, Sinar Terang dan Yoga Mimpi ini semuanya saling terjalin. Karmapa yang pertama, Düsum Khyenpa, berhasil mendapatkan realisasi ‘siddhi absolut’ bodhi (Bhs. Sansekerta: बोधि) di umurnya yang ke-50 saat melakukan sadhana Yoga Mimpi.[8]

Mahasiddha Shri Tilopa

Silsilah Nyingma


Menurut Silsilah Nyingma, ada ‘Tujuh Transmisi’ (Bhs. Tibet: bka' babs bdun[9]), atau ‘aliran pemberkatan dan abhiseka yang sakral’ (Bhs. Tibet: dam pa'i byin rlabs) yang mampu mengulangi aliran pikiran seorang tantrika. Transmisi adalah sebuah penggabungan dari berbagai aliran pikiran meski pada bagian paling dasarnya ada sebuah aliran pikiran yang merupakan ‘satu kesatuan’ atau ‘singularitas’ (transliterasi Wulie: gcig). Meski pemunculannya yang tak disengaja dari tujuh modalitas (pengandaian) atau kanal transmisi ini bisa terjadi pada kondisi terjaga (tidak tidur) bila waktu, ruang, kondisi dan hubungan karma bertemu dengan tepat; dengan cara yang sama mereka juga bisa dilakukan dalam kondisi yoga mimpi yang jelas (terkendali). Sebuah jenis transmisi yang secara khusus ditekankan dalam hubungannya dengan Yoga Mimpi, simbolisme dan ikonografi, dan kondisi trans, adalah transmisi ‘penglihatan suci’ (Bhs. Tibet: dag snang[10]) dan persepsi bentuk pikiran Sambhogakaya dan representasi yidam.

Nyingma melihat tradisinya sendiri sebagai buah dari tiga aliran transmisi, salah satunya adalah ‘penglihatan suci’ yang meliputi Yoga Mimpi dan berbagai penglihatan trans di dalam pertanda baik tersebut:

  • Silsilah kanonikal ‘jauh’, ditransmisikan oleh garis manusia secara tak terputus;

  • Silsilah ‘dekat’ yang merupakan harta spiritual yang tersembunyi; dan

  • Silsilah ‘mendalam’ yang berupa penglihatan suci.[11]
                                              Acharya Nāgārjuna


Penafsiran


Shugchang, dkk. (2000: hal.16) saat menjelaskan Zhitro  juga membahas mengenai begitu pentingnya bisa bermimpi dengan jelas dalam sadhana Yoga Mimpi dan menunjukkan empat tahapnya sebagai berikut:
Supaya kita dapat menggunakan waktu bermimpi kita dengan lebih bermakna, pertama-tama kita harus menyadari bahwa kita sedang bermimpi. Itu adalah latihan awalnya. Langkah selanjutnya dinamakan mentransformasikan mimpi; langkah ke-tiga adalah melipatgandakan. Dan latihan yang ke-empat adalah menyatukan mimpi dengan cahaya cemerlang. Menyadari, mentransformasikan, melipatgandakan, dan menyatukan mimpi dengan sifat sejati yang cemerlang; merupakan empat garis besar aplikasi Yoga Mimpi yang sungguh penting.[12]

Evans-Wentz di dalam bukunya “Tibetan Yoga and Secret Doctrines” (Yoga dan Doktrin-Doktrin Rahasia Tibet) (London: Oxford University Press, 1935) menggambarkan Yoga Mimpi sebagai salah satu dari enam sub jenis yoga yang dijelaskan lebih lanjut oleh seorang guru Tibet bernama Marpa dan diturunkan kepada muridnya – Milarepa. Si penulis menggambarkan enam tahap yoga mimpi. Pada tahap pertama, si pemimpi diminta agar dirinya menjadi jelas di dalam mimpinya.  Pada tahap kedua, si pemimpi diinstruksikan untuk mengatasi semua ketakutan atas isi mimpinya sehingga muncul realisasi bahwa tidak ada satu hal pun di dalam mimpi yang dapat mencelakainya.  Sebagai contoh, ia yang sudah dapat bermimpi dengan jelas perlu memadamkan api dengan tangannya dan menyadari bahwa api tidak dapat membakarnya di dalam mimpi. Kemudian si pemimpi harus merenung bagaimana semua fenomena baik di dalam mimpi maupun dalam keadaan terjaga (tidak tidur) ternyata mirip karena mereka semua juga mengalami perubahan, dan seperti dari kedua pernyataan tadi – kehidupan juga bagaikan ilusi karena selalu terjadi perubahan di dalamnya. Baik obyek-obyek di dalam mimpi maupun obyek-obyek di dunia dalam perspektif dunia Buddhis oleh karenanya bersifat kosong (sunya) dan tidak punya sifat sejati yang substantif. Ini adalah tahap merenungi mimpi sebagai maya, dan menyamakan sensasi maya ini dengan pengalaman sehari-hari di dalam dunia eksternal. Selanjutnya, si pemimpi harus menyadari bahwa dia punya kendali atas mimpinya dengan mampu mengubah obyek-obyek yang besar menjadi kecil, yang berat menjadi ringan, dan yang banyak menjadi satu obyek.

Setelah mampu mengendalikan berbagai obyek dan transformasinya, pada tahap ke-lima, si pemimpi harus menyadari bahwa tubuh mimpi si pemimpi juga tidak punya substansi, sama halnya seperti obyek-obyek lain di dalam mimpi. Si pemimpi harus menyadari bahwa dirinya bukanlah tubuh mimpi. Si pemimpi yang telah mendapatkan kendali penuh atas obyek-obyek mimpi dapat, sebagai contoh, merubah bentuk tubuh atau membuat tubuh mimpi tersebut menghilang sama sekali. Dan pada akhirnya, di tahap ke-enam, citra (gambar) para dewata (Buddha, Bodhisattva, atau Dakini) harus bisa divisualisasikan dalam kondisi mimpi yang jernih. Figur-figur ini sering terlihat dalam seni religi Tibet (thangka) dan digunakan di dalam meditasi. Mereka ini dikatakan terhubung atau beresonansi dengan sinar terang Kekosongan (Sunyata) dan oleh karenanya dapat menjadi pintu simbolis untuk masuk ke dalam kondisi mistis ini (Kekosongan atau sinar terang). Si pemimpi diinstruksikan untuk berkonsentrasi pada gambar-gambar simbolis tersebut dengan penuh konsentrasi atau berpikir mengenai hal-hal lain sehingga sisi wahyu ilahi dari simbol-simbol tersebut akan termanifestasi.



Düsum Khyenpa (Bhs. Tibet: དུས་གསུམ་མཁྱེན་པ་, Transliterasi Wylie: dus gsum mkhyen pa) (1110–1193) - Gyalwa Karmapa pertama

Yuthok dkk. (1997:hal.229) menyatakan bahwa:
…jika kita melakukan sadhana secara rutin dan penuh dengan keyakinan, maka kita akan mulai bermimpi mengenai melakukan sadhana tersebut. Dengan cara yang sama, kalau kita melatih sadhana tubuh ilusi, maka kita akan mulai memimpikannya juga. Di sini ada hubungan yang sangat kuat antara yoga mimpi dengan tubuh ilusi. Makin sering kita memikirkan tubuh ilusi, maka makin banyak mimpi yang akan kita alami. Kita akan melihat mereka sebagai mimpi, bukannya salah menganggapnya sebagai kehidupan yang nyata. Kita dapat melakukan banyak hal di dalam mimpi yang tidak dapat kita lakukan sewaktu berada dalam kondisi terjaga (tidak tidur).[13]



Yuthok dkk. (1997:hal.230) menyatakan bahwa:
Mereka yang telah melatih yoga mimpi akan mampu mengunjungi para guru yang mereka rindukan dan bepergian ke tempat yang tidak dapat dikunjunginya sewaktu dalam kondisi terjaga. Kondisi mimpi adalah kondisi pikiran yang sangat murni.[13]



Menurut para guru Dzogchen masa kini – Namkhai Norbu, Lopön Tenzin Namdak dan Tenzin Wangyal, realitas dan dunia fenomenal yang terlihat dianggap sebagai sama sekali “tidak nyata” — sebuah “ilusi” (lihat Mahamaya – sebagai puncak dari keberhasilan melatih yoga mimpi): sebuah mimpi, sebuah tampilan efek optikal dan ilusi, sebuah bentuk pikiran. Semua penampakan dan fenomena adalah sebuah mimpi atau bentuk pikiran, inter- dan intra- refleksi dan refraksi permata dan merupakan cerminan semua kemungkinan dan potensi, “muncul dan saling berhubungan” atau “hukum sebab akibat yang saling bergantungan” (pratītyasamutpāda). Perspektif seperti ini digunakan oleh silsilah yoga mimpi ini dan dengan realisasi keberhasilan dalam sadhana ini maka mimpi kehidupan dan mimpi yang rutin terjadi pada malam hari ternyata tidak berbeda, dan sifat sejatinya juga non-dual. Perbedaan yang tidak begitu penting di antara kondisi mimpi secara umum dan pengalaman pada saat terjaga adalah  yang pada saat terjaga biasanya lebih konkrit dan terhubung dengan kemelakatan, samskara* dan skandha (lima jenis fenomena yang menjadi basis kemelekatan inderawi); di mana mimpi biasa yang tidak jelas sifatnya hanya sementara, dan pada umumnya serta secara kultural tidak punya dasar dan kosong. Di dalam Yoga Mimpi, yang nyata bisa menjadi mimpi, dan mimpi menjadi yang nyata. Kemajuan pelatihan dalam sadhana ini bisa diumpamakan seperti membuktikan hipotesis ilmiah mengenai superposisi yang terpecahkan. Superposisi yang terpecahkan tersebut adalah penggabungan aliran pikiran Dharmakaya dengan Shunyata dan Jala Indra. Silsilah Mantrayana Nyingmapa, Bonpo, Ngagpa dan Mahashiddha yang saling bertalian ini  berisi penuh dengan trans dan transmisi ajaran, doktrin dan lainnya yang disampaikan lewat mimpi yang melampaui konstruksi waktu, lokasi dan ruang; dan ini sering disebut sebagai “tradisi yang dibisikkan” dan terma. Lihat Lucid Living.

*) Samskara/Shankara adalah kesan, di bawah dorongan dari kesan-kesan sebelumnya yang merupakan jejak yang tertinggal di dalam pikiran bawah sadar oleh pengalaman di dalam kehidupan saat ini atau sebelumnya, yang kemudian memberi warna pada semua kehidupan, sifat, tanggapan dan kondisi pikiran seseorang, dll.



Juga menurut ajaran ini, ada hubungan antara kondisi tidur dan bermimpi dengan pengalaman saat kita meninggal dunia. Setelah mengalami  kondisi bardo peralihan, seorang individu akan keluar dari sana dan ilusi karma yang baru akan tercipta dan kehidupan baru yang lain akan dimulai, dengan mengambil persediaan dari gudang kesadaran yang terjadi secara spontan dan terus-menerus serta merupakan energi dari proses transmigrasi.

Tujuan utama dan fondasi dari sadhana mimpi ini adalah untuk menyadari di dalam kondisi mimpi bahwa si pemimpi memang sedang bermimpi. Saat jernihnya mimpi (mimpi yang jelas) telah bisa diraih lewat pelatihan, maka aplikasinya bisa tak terbatas. Si praktisi kemudian dapat bermimpi dengan jelas dan melakukan berbagai macam hal, seperti: melakukan sadhana; menerima abhiseka inisiasi, pemberkatan dan transmisi; pergi ke berbagai macam tempat, dimensi dan loka, berkomunikasi dengan yidam; berdialog dengan para insan, mahluk dan orang-orang seperti guru; terbang; berubah bentuk, dll. Juga memungkinkan untuk melakukan berbagai macam sadhana saat sedang bermimpi (seperti yang biasanya dilakukan pada kondisi terjaga meski hasil pelatihan sadhana tersebut akan sangat maju pesat lewat konteks pembelajaran, bermain dan berlatih). Dengan cara ini si yogi akan mempunyai pengalaman yang sangat kuat dan akhirnya muncul pemahaman akan sifat sejati kehidupan sehari-hari yang ternyata memang seperti mimpi belaka. Hal ini sangat berguna untuk mengikis berbagai macam kemelekatan, karena mereka (kemelekatan) berbasiskan pada kepercayaan yang telah mengakar bahwa persepsi dan obyek dalam kehidupan ini bersifat nyata, dan sebagai konsekuensinya, penting. Penguasaan yoga mimpi tidak hanya akan membantu dalam merealisasikan shunyata secara penuh, namun juga di dalam lila** Mahamaya. Saat si yogi merealisasikan dan mewujudkan Doktrin Shunyata dari Buddha Shakyamuni dan Nagarjuga dari antara berbagai Yoga Mimpi dan sadhana tingkat lanjut yang diarunginya, maka realisasi penuh sudah dekat dan mudah. [membutuhkan rujukan]

**) Lila adalah konsep dalam agama Hindu mengenai alam semesta sebagai tempat bermain-main para dewa.



Namkhai Norbu memberikan saran, bahwa realisasi akan hidup yang hanya sebuah mimpi besar ini dapat membantu kita untuk akhirnya membebaskan diri sendiri dari jeratan rantai emosi, kemelekatan, dan ego dan kemudian kesempatan kita untuk sepenuhnya tercerahkan akan terbuka.[14]



---



1.    Yoga Mimpi juga dikenal sebagai Jangwa, Gyurwa dan Pelwa.

2.    Svarpnadarshana bisa dipisah menjadi svarpna dan darshana.

3.    ^ Lopön Tenzin Namdak and Dixey, Richard (2002). Heart Drops of Dharmakaya: Dzogchen Practice of the Bön Tradition. Snow Lion Publications. ISBN : 1559391723

4.    ^ Shugchang, Padma (penyunting); Sherab, Khenchen Palden & Dongyal, Khenpo Tse Wang (2000). A Modern Commentary on Karma Lingpa's Zhi-Khro: teachings on the peaceful and wrathful deities. Padma Gochen Ling. Sumber: [1] (diakses: 27 Desember 2007)

5.    ^ Ouzounian, Alice (2003). "The Six Yogas of Tibet." Zhiné Tibetan Dream Yoga: Part 2. Sumber: [2] (diakses: 31 Januari 2008)

6.    ^ Dharma Fellowship (2008). Biographies: Mahasiddha Sri Tilopa. Sumber: [3] (diakses: 31 Januari 2008)

7.    ^ Rinpoche, S. (1992). Mahamaya Tantra (With Gunavati Commentary by Ratnakara Santi). The Rare Buddhist Texts Series No. 10. New Delhi, India: Central Institute of Higher Tibetan Studies. NB: Critically edited Sanskrit text with Tibetan; in English. "Naskah asli mengenai Mahamayatantra dalam Bahasa Sansekerta telah dipugar dengan bantuan versi Tibetnya dan komentar Gunawati dalam Bahasa Sansekerta. Naskah pendek yang berisi tiga bab ini membahas subyek-subyek yang sangat penting seperti S[i]ddhi[sic], Klasifikasi Hetu, Phala dan Upayatantras, dan manifestasi dari sang dewata." Sumber: [4] (diakses: 31 Januari 2008)

8.    ^ Karma Triyana Dharmachakra Lineage History, The first Karmapa Düsum Khyenpa. Sumber: [5] (diakses: 20 Febuari 2010)

9.    ^ Dharma Dictionary (2008). Seven transmissions. Sumber: [6] (diakses: 31 Januari 2008)

10.    ^ Dharma Dictionary (2008). dag snang. Sumber: [7] (diakses: 31 Januari 2008)

11.    ^ Holmes, oleh Ken (tidak ada tanggal). Eight Chariots and Four Lineages. Sumber: [8] (diakses: 31 Januari 2008)

12.    ^ Shugchang, Padma (penyunting); Sherab, Khenchen Palden & Dongyal, Khenpo Tse Wang (2000). A Modern Commentary on Karma Lingpa's Zhi-Khro: teachings on the peaceful and wrathful deities. Padma Gochen Ling. Sumber: [9] (diakses: 27 Desember 2007)

13.    ^ a b Yuthok, Choedak (1997). Lamdre: Dawn of Enlightenment. (Diterjemahkan dan disunting oleh Pauline Westwood dengan bantuan yang sangat berharga dari Ot Rastsaphong, Rob Small, Brett Wagland dan Whitethorn. Desain sampul: Rob Small) Canberra, Australia: Gorum Publications. ISBN 0-9587085-0-9. Sumber: [10] (diakses: 3 Januari 2008)

14.    ^ Norbu (1992), hal. 42, 46, 48, 96, 105


Referensi


Lopön Tenzin Namdak and Dixey, Richard (2002). Heart Drops of Dharmakaya: Dzogchen Practice of the Bön Tradition. Snow Lion Publications. ISBN : 1559391723

Norbu, Chögyal Namkhai (1992). Dream Yoga and the Practice Of Natural Light. Ithaca, NY: Snow Lion Publications. ISBN 1-55939-007-7

Guenther, Herbert V. (1963). The Life and Teaching of Naropa, Oxford University Press.

Wangyal, Tenzin (1998) The Tibetan Yogas of Dream and Sleep, Snow Lion Publications.

Olga Kharitidi (c2001). The Master of Lucid Dreams. Charlottesville, Va. : Hampton Roads Pub. Co., c2001. vii, 225 p. ; 22 cm. ISBN 1-57174-329-4

LaBerge, Stephen (2003). 'Lucid Dreaming and the Yoga of the Dream State: A Psychological Perspective' in Wallace, B. Alan (editor, 2003). Buddhism & Science: Breaking New Ground. Columbia Series in Science and Religion. New York, USA: Columbia University Press. ISBN 0-231-12335-3 (pbk.: alk. paper)

~~~~~~~~~~~~~~
Haha! Lumayan bikin pikiran penuh ya? Teman-teman ingat artikel Mahaguru Lu yang saya pernah bagikan [Mimpi di dalam Mimpi / 梦中梦]

Ya, ini dengan prinsip yang sama.

Mahaguru Lu berkata bahwa kita hidup di dalam sebuah Mimpi dan saat kita bermimpi, maka itu adalah mimpi di dalam sebuah mimpi.

Selamat membaca dan saya harap teman-teman semua menikmatinya seperti saya juga.

Intinya adalah menemukan Kebahagiaan dalam semua hal yang kita lakukan.


Om Guru Lian Sheng Siddhi Hom
Lama Lotuschef

Edited 2 July 2016

No comments:

Post a Comment